SOLO, solotrust.com – Dalam dunia olahraga, terutama sepak bola, cedera merupakan salah satu risiko yang mungkin saja bisa menimpa pemain siapa pun. Banyak sebab yang menjadikan seorang pemain sepak bola mengalami cedera, mulai dari benturan dengan pemain lain, hingga kurangnya pemanasan.
Anggota Komite Medis PSSI dr Muhammad Ikhwan Zein Sp.KO mengatakan, cedera pada bagian kepala dan leher merupakan salah satu cedera yang serius dan sering berakibat fatal di pertandingan sepak bola. "Cedera ini jarang terjadi namun penting bagi atlet dan tim medis mengetahui penanganan pertama dengan benar dari cedera ini. Tindakan yang salah dapat memberikan risiko adanya kelumpuhan permanen bahkan kematian," kata Ikhwan, dilansir laman PSSI, Selasa (30/1/2018).
Seringkali, sebut Ikhwan, cedera kepala dan leher terjadi secara bersamaan dalam satu mekanisme, sehingga hal pertama yang harus diketahui dengan cepat dan benar oleh penolong adalah ada tidaknya potensi retak, patah atau dislokasi tulang belakang bagian leher (cervical).
Penilaian awal potensi cedera cervical ini dapat dilakukan dengan mengetahui mekanisme cedera yang terjadi. Ikhwan menyebutkan beberapa kejadian yang perlu dicurigai adalah kasus yang melibatkan, di antaranya:
- Benturan langsung pada kepala, baik oleh siku, kaki yang terlalu tinggi, beradu kepala di udara atau pun pukulan dari penjaga gawang.
- Benturan pada dagu dan rahang.
- Benturan bahu yang keras.
- Jatuh dari ketinggian, misal melompat ketika berebut bola atau penjaga gawang yang melompat melakukan penyelamatan kemudian terjatuh salah posisi.
Lanjut Ikhwan, atlet yang mengeluhkan adanya rasa baal, kesemutan, panas, nyeri seperti ditusuk jarum, dan adanya tanda-tanda kelemahan/kelumpuhan otot (misal tidak kuat dalam menggenggam) usai benturan kepala-leher juga harus dicurigai mengalami cedera cervical.
“Bila atlet masih sadar, jangan memindahkan atlet hingga tim medis atau ambulans datang. Lakukan imobilisasi manual agar tidak terjadi perburukan kondisi akibat adanya gerakan pada leher,” terang Ikhwan.
Imobilisasi manual dilakukan dengan meletakkan tangan penolong pada sisi samping kepala atlet. Jari penolong jangan sampai menutupi telinga agar atlet tetap dapat mendengar. Pertahankan kesejajaran kepala-leher dan lindungi agar tidak bergerak. Imobilisasi manual harus terus dilakukan sampai penyangga leher atau tandu spinal (spinal board) datang.
“Perhatikan secara terus menerus jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing) atlet, dan teruslah berbicara untuk menenangkan atlet. Seluruh perpindahan posisi hanya boleh dilakukan bila ambulans telah siap,” lanjutnya.
Bila atlet tidak sadar, lakukanlah imobilisasi manual dengan memperhatikan A-B- C, yaitu airway (jalan napas), breathing (pernapasan) dan circulation (denyut nadi). Perhatikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan ke depan harus tetap dalam posisi imobilisasi cervical.
Selain itu, buka mulut atlet untuk memastikan jalan napas tidak ada hambatan, dan periksalah apakah atlet dapat bernapas normal. Bila terdengar atlet mendengkur, maka kemungkinan jalan napas tertutup oleh lidah.
“Lakukan teknik jaw thrust. Teknik ini dapat membantu mengangkat lidah dan membuka jalan napas. Teknik ini juga memberikan pergerakan yang minimal pada tulang cervical sehingga aman,” jelasnya.
Jaw thrust dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada masing-masing sisi kepala korban dengan ibu jari dekat sudut mulut pertemuan menuju dagu, gunakan siku untuk menyokong.
Geser jari ke posisi di bawah sudut tulang rahang korban tanpa menggerakkan kepala atau leher, kemudian dorong rahang ke atas tanpa menggerakkan kepala atau leher untuk mengangkat rahang dan membuka pernapasan.
“Memindahkan atlet dengan kecurigaan cedera cervical tidak boleh dilakukan sembarangan,” tegasnya.
Lanjut Ikhwan, usahakan tetap pada posisi imobilisasi manual hingga regu penolong datang. Seluruh pemindahan atlet dilakukan tim ambulans menggunakan tandu spinal (spinal board) dan penopang leher. “Jangan sekali-kali berinisiatif memindahkan pasien tanpa adanya aba-aba dari regu penolong dan tidak memiliki ketrampilan evakuasi,” sambungnya.
Umumnya tim ambulnas akan melakukan teknik controlled log roll untuk memindahkan atlet ke tandu. Teknik ini setidaknya dilakukan oleh empat orang penolong.
Penolong pertama akan melakukan stabilisasi cervical, penolong kedua adalah orang yang memiliki ukuran tubuh tertinggi dan diletakkan pada area bahu atlet, penolong ketiga adalah orang yang memiliki ukuran tubuh tertinggi kedua dan diletakkan di sekitar dada, sedangkan penolong terakhir akan berposisi pada panggul dan tungkai.
Posisi tangan penolong 2-4 bersilangan dan mereka melakukan pemindahan dengan teknik roll sesuai aba-aba dari penolong pertama. Begitu tandu dapat disisipkan maka stabilisator cervical dipasang dan penolong pertama dapat melepas imobilisasi manualnya.
“Perhatikan bahwa atlet yang kehilangan kesadaran akibat benturan kepala leher harus dicurigai mengalami cedera cervical sampai pemeriksaan penunjang seperti x-ray membuktikan tidak ada cedera,” urainya.
Gegar Otak (Concussion)
Beberapa benturan di kepala menyebabkan cedera tanpa melibatkan cedera cervical. Mayoritas kasus yang terjadi adalah gegar otak (concussion). Olahragawan, ofisial dan tim medis harus dapat mengenali tanda dan gejala dari gegar otak, sebab sering kali kasus ini tidak menyebabkan atlet kehilangan kesadaran.
Badan sepak bola dunia (FIFA) bekerja sama dengan beberapa federasi olahraga lain seperti Rugby (IRB), Hockey (IIHF) dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) telah memperkenalkan instrumen dalam menilai dan mengevaluasi kasus gegar otak yang bernama SCAT (Sports Concussion Assesment Tool).
SCAT memiliki instrumen Pocket Concussion Recognition Tool yang dapat digunakan secara mudah untuk mengidentifikasi kasus gegar otak yang terjadi di lapangan.
“Dalam instrument tersebut dinyatakan bila terdapat satu atau lebih gejala yang muncul setelah terjadinya benturan di kepala seperti kehilangan kesadaran, terbaring lama setelah benturan, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, memegang kepala, pandangan kosong, kebingungan dan kehilangan perhatian pada lingkungan sekitar maka kita dapat mencurigai adanya gegar otak,” jelasnya.
Gejala dan tanda gegar otak juga dapat diidentifikasi seperti kejang, emosional, merasa kelelahan, cemas, pusing, bingung, merasa lebih lambat dalam bergerak, kepala seperti tertekan, sensitif terhadap cahaya, merasa berkabut, nyeri leher, amnesia, kesulitan konsentrasi, sensitif terhadap suara dan adanya gangguan memori (seperti lupa sekarang berada dimana, saat ini sedang apa, siapa pencetak gol, sedang bertanding apa).
Lanjut Ikhwan, setiap atlet yang dicurigai mengalami gegar otak harus ditarik keluar dan tidak diizinkan bermain sampai ada pemeriksaan medis lanjutan. “Bila di suatu pertandingan dinilai tidak ada tim medis yang berkompeten untuk menilai gegar otak, segera kirimkan pasien ke rumah sakit untuk pemeriksaan medis lanjutan,” imbaunya.
(way)