Solotrust.com- Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sejatinya hadir sebagai tonggak pergeseran paradigma: dari sistem “kumpul-angkut-buang” menuju pendekatan reduce, reuse, dan recycle (3R). Namun setelah lebih dari 15 tahun berlalu, pelaksanaan UU ini masih tertatih, dan dalam banyak aspek, gagal menyentuh akar persoalan struktural maupun kultural terkait pengelolaan sampah nasional.
"Undang-Undang ini ibarat pijakan awal yang luhur dalam membingkai kesadaran ekologis bangsa, namun langkahnya masih tertatih dalam menjawab kompleksitas zaman. Meskipun ruhnya mengandung semangat untuk mengubah paradigma dari kumpul-angkut-buang menuju pengelolaan yang berkelanjutan, implementasinya kerap terperangkap dalam kabut lemahnya koordinasi antar lembaga, minimnya sanksi yang tegas, serta belum kuatnya mekanisme partisipasi publik. Lebih jauh, UU ini masih menyisakan celah dalam menjangkau dimensi ekonomi sirkular secara konkret, padahal dinamika sampah bukan sekadar urusan limbah, melainkan juga potensi sumber daya yang terbarukan. Maka, dalam menghadapi arus modernitas dan krisis iklim yang kian nyata, perlu ada revitalisasi hukum yang tak hanya tajam dalam teks, namun juga hidup dalam praksis demi bumi yang lestari dan generasi yang tidak mewarisi tumpukan, melainkan peradaban." Kata Ketua Umum PP HAKLI (himpunan ahli Kesehatan lingkungan Indonesia), Arif Sumantri.
Secara akademik, kelemahan utama UU ini terletak pada minimnya mekanisme penegakan hukum yang tegas dan terukur. Tidak adanya sanksi yang kuat bagi produsen, pelaku usaha, maupun individu yang lalai dalam pengelolaan sampah membuat regulasi ini sering kali tak lebih dari seruan moral, bukan dorongan normatif. Klausul tentang tanggung jawab produsen (extended producer responsibility/EPR) masih bersifat imbauan, bukan kewajiban yang dibarengi insentif dan disinsentif konkret.
Selain itu, keterbatasan koordinasi antar-lembaga pemerintah, serta belum optimalnya pelibatan pemerintah daerah, menjadi titik lemah yang membuat regulasi ini sulit menjangkau wilayah-wilayah non-perkotaan yang turut menghadapi krisis sampah. Ketiadaan desain implementasi yang adaptif terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan geografis Indonesia menjadikan UU ini tidak cukup luwes dalam menjawab kebutuhan lokal, terlebih di kawasan pesisir, pedalaman, dan wilayah rawan bencana.
Sementara itu, peran masyarakat dan sektor informal seperti pemulung, bank sampah, dan komunitas local belum mendapat posisi strategis dalam sistem hukum formal. Padahal mereka adalah ujung tombak daur ulang dan pengurangan sampah yang bekerja nyaris tanpa pengakuan. UU ini belum berhasil membangun infrastruktur partisipatif yang mengakar dari bawah, yang menjadikan perubahan gaya hidup dan kesadaran ekologis sebagai bagian dari sistem, bukan beban personal.
Dalam lanskap global yang kian dipenuhi mikroplastik, limbah elektronik, dan jejak karbon konsumsi, UU ini juga terlihat kurang adaptif dan tanggap dalam menjawab tantangan zaman. Ia belum diperbarui untuk mengatur dinamika sampah modern seperti e-waste, sampah digital, atau sistem ekonomi sirkular berbasis digital. Alih-alih menjadi kompas hijau yang visioner, ia lebih sering terjebak menjadi teks statis yang tak bergerak seiring waktu.
"Lebih dari itu, UU ini belum sepenuhnya mengakar dalam kesadaran masyarakat. Edukasi publik belum menjadi arus utama, padahal perubahan sistem tanpa transformasi pola pikir hanya akan menjadi formalitas hukum yang rapuh. Sampah masih dipandang sebagai masalah setelah muncul, bukan sebagai sesuatu yang harus dicegah dari hulu dari kebiasaan konsumsi kita sendiri."
"Sudah waktunya UU ini tidak hanya direvisi dalam teks, tetapi ditumbuhkan dalam praktik. Dibutuhkan regulasi turunan yang lebih tegas, pembiayaan yang cukup, teknologi yang terjangkau, serta kesadaran kolektif bahwa menjaga bumi bukan tugas pemerintah semata, melainkan amanah bersama. Sebab bumi yang bersih bukanlah utopia, melainkan hak dasar generasi masa depan. Dan undang-undang, jika tidak mampu mengawal amanah itu, harus dibenahi, bukan dibiarkan menjadi dokumen usang yang dilupakan oleh waktu."
tambahnya.
UU No. 18 Tahun 2008 adalah tonggak penting dalam sejarah hukum lingkungan Indonesia. Ia adalah cermin dari niat baik negara untuk mengelola sampah secara bertanggung jawab. Namun, sebagaimana hukum yang hidup dalam masyarakat, ia harus terus diuji oleh waktu, dikritisi oleh kenyataan, dan diperbarui oleh kebutuhan zaman.
Kini saatnya kita tak hanya melihat hukum sebagai produk formal, melainkan sebagai instrumen perubahan yang hidup dan berkembang. Diperlukan revisi menyeluruh, baik dari segi kelembagaan, substansi, maupun strategi implementasi. Namun lebih dari itu, diperlukan juga kesadaran kolektif bahwa bumi ini tidak sedang menanti undang-undang yang sempurna, melainkan tindakan nyata dari manusia yang mau belajar dari masa lalu, bertindak di masa kini, dan peduli pada masa depan.
Sampah bukan hanya soal limbah fisik, tapi juga jejak moral dari cara kita hidup. Dan undang-undang, jika ingin bermakna, harus mampu menjawabnya bukan dengan pasal yang rumit, melainkan dengan keberanian untuk berubah.
Undang-undang ini, jika tidak diperkuat dan diperbarui, hanyalah payung sobek di tengah badai limbah. Ia tertulis di kertas, tapi tak berdaya di tanah. Dan jika hukum hanya tinggal naskah, lalu nurani absen dalam kebijakan, maka sampah tak hanya mencemari ruang, tetapi juga waktu menumpuk sebagai hutang ekologis yang diwariskan ke generasi selanjutnya.
(Wd)