SEMARANG, solotrust.com- Sejumlah akademisi dan pakar hukum dari Undip berdiskusi dan menggelar Refleksi Penegakan Hukum dalam eksaminasi kasus Irman Gusman dengan memberikan anotasi yang dibuat dalam sebuah buku dengan judul ‘Menyibak Kebenaran Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman’ agar bisa dijadikan bahan studi akademik dan pembelajaran hukum holistik. Banyaknya kasus yang diungkap aparat penegak hukum baik dari KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, ada kasus yang menarik perhatian dari sejumlah akademisi dan pakar hukum yaitu kasus Irman Gusman.
Diskusi Prime Topic dengan tema Refleksi Penegakan Hukum ini diselenggarakan oleh MNC Trijaya FM Semarang, di Hotel Gets Semarang, Rabu (16/1/2019). ). Hadir dalam acara tersebut Guru Besar Hukum dan Masyarakat fakultas Hukum Undip Prof Esmi Warassih, Sekretaris Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Undip Semarang, Dr Pudjiono, dan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Undip, Prof Nyoman S Putra Jaya.
Dalam buku dengan judul ‘Menyibak Kebenaran Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman,beberapa pakar hukum berpendapat, diantaranya Prof Dr. Andi Hamzah yang mengatakan, bahwa Irman Gusman Bukan yang memberi izin gula impor itu masuk, dan bukan jabatannya dia. Jadi, tidak masuk suap, Irman tidak bisa dituntut dengan tuduhan menerima suap. “Jadi kasus pak Irman Gusman itu bukan suap, karena tidak berhubungan dengan jabatannya,” ujarnya.
“Oleh teman-teman saya dikatakan, kita belum bisa menemukan keadilan substantive, lebih banyak masih prosedural. Jadi kita belum menemukan keadilan yang sebenar-benarnya. Penegak hukum jangan melanggar hukum, intinya seperti itu,” kata Prof. Dr. Nyoman Putra Jaya.
Lain lagi pendapat Prof. Dr. Esmi Warassi, ia mengungkapkan bahwa mindset penegak hukum harus diubah. menurutnya satu kasus dengan kasus lainnya berbeda dan tidak semestinya diputus secara tekstual.
Disinggungnya dalam soal putusan mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, Esmi mengatakan putusan tidak sepenuhnya memenuhi unsur keadilan. Hal itu lantaran mengesampingkan aspek tindakan dalam mengupayakan aspirasi masyarakat Sumatera Barat berkaitan dengan ketersediaan pasokan gula.
“Dilihat dari kacamata sosiologi hukum, sulit untuk menghadirkan keadilan ketika tolok ukur yang digunakan adalah neraca hukum tekstual semata,” katanya.
Sementara itu, DR. Pudjiono dari Pusat Kajian Anti Korupsi Undip menyampaikan, bahwa pada masalah tindak pidana korupsi, merujuk penelitian ke masyarakat apakah putusan pidana bagi koruptor itu sudah sesuai keadilan atau sebaliknya.
Menurutnya, hakim tidak bicara soal tekstual saja, namun bagaimana pada rasa keadilan masyarakat, juga keadilan pelaku tindak pidana. “Dalam aspek pemidanaan, ada dua proses yakni pembuktian juridis dan proses penjatuhan pidananya. Dalam proses pembuktian juridis, orang hukum selalu berpikir secara isoterik yang hanya bisa dipahami orang hukum,” ujarnya. (vit)
()