JAKARTA- Baiq Nuril Maknun tak henti berharap bebas dari jeratan hukum setelah peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung ditolak. Baiq, yang jadi korban pelecehan oleh bekas bosnya justru dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Langkah terakhir Baiq Nuril adalah meminta amnesti kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Baiq kemudian mendatangi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk berkonsultasi terkait permohonannya itu.
"Sampai saat ini saya masih bisa berdiri di sini, saya ingin mencari keadilan. Saya tidak akan menyerah," kata Baiq Nuril sesaat setelah bertemu Yasonna Laoly pada Senin (8/7/2019).
Baiq yang didampingi kuasa hukum dan anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka mendapat secercah harapan soal amnesti yang akan diajukannya itu.
Yasonna Laoly mengatakan, amnesti adalah langkah yang paling mungkin dilakukan untuk membebaskan Baiq Nuril.
"Dari pilihan yang ada, amnesti adalah langkah yang paling mungkin dilakukan," kata Yasonna.
Yasonna lebih lanjut mengatakan, Kemenkumham akan mengadakan pertemuan yang mengundang pakar-pakar hukum pada Senin malam untuk mendiskusikan argumentasi yuridis kasus Baiq Nuril.
"Prosesnya nanti kita berikan pertimbangan hukum segera. Harus malam ini," katanya, Senin.
Untuk itu, Baiq Nuril mengucapkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada Yasonna Laoly. "Saya mengucapkan terimakasih, terimakasih, terimakasih," kata Baiq Nuril kepada Yasonna.
Baiq Nuril sebelumnya dilaporkan atas perbuatan merekam aksi pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah tempat dirinya bekerja. Baiq Nuril dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya terkait penyebaran informasi elektronik yang muatannya dinilai melanggar norma kesusilaan.
Setelah memenangkan perkara di Pengadilan Negeri Mataram, pelaku mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan menang. Baiq Nuril lantas mengajukan Peninjauan Kembali ke MA, namun permintaan tersebut ditolak. Dengan penolakan ini, Baiq Nuril akan tetap dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Yasonna menilai Presiden Jokowi sebagai kepala negara mempunyai hak prerogatif memberikan amnesti. Untuk itu, Kementerian Hukum dan HAM akan menyusun pendapat hukum tentang amnesti dan kemudian diajukan kepada Presiden Jokowi.
"Kami akan mempersiapkan argumentasi yuridisnya mengenai hal ini," kata Yasonna.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mempersilakan Baiq Nuril mengajukan amnesti atau pengampunan.
"Boleh (mengajukan amnesti), secepatnya," kata Jokowi di Pangkalan Udara TNI AU Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/7).
Presiden mengatakan bila ada permohonan amnesti yang diajukan Baiq Nuril, maka ia akan membicarakannya lebih dulu dengan Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Menko Polhukam.
"Saya tidak ingin mengomentari apa yang sudah diputuskan mahkamah, karena itu pada domain wilayahnya yudikatif. Ya nanti kalau sudah masuk ke saya, jadi kewenangan saya," ungkap Presiden.
Adapun Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan akan menunda eksekusi terhadap Baiq Nuril.
"Saya tidak akan buru-buru. Kami akan tentunya melihat bagaimana aspirasi masyarakat, rasa keadilan, dan seterusnya," kata Prasetyo di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin.
Prasetyo menjelaskan, sejatinya Baiq telah menggunakan semua hak hukumnya untuk membela diri meski berujung pada penolakan peninjauan kembali kasusnya. Namun Prasetyo mempersilakan Baiq meminta amnesti kepada Presiden Jokowi. "Silakan, itu hak dia sebagai warga negara. Nanti Pak Presiden memutuskan," ucapnya.
Meski menunda untuk menjebloskan Baiq kembali ke penjara, Prasetyo tetap meminta Baiq kooperatif. "Jangan juga dia terkesan lari-lari. Gak usah, lah, kami tidak terburu-buru," tuturnya.
Dukungan untuk membebaskan Baiq Nuril dari jerat hukum datang dari berbagai pihak. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mendesak Presiden Jokowi memberi amnesti kepada terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril.
"Kami mendesak Presiden RI untuk memberikan amnesti kepada BN sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni di kantornya.
Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nur Herawati mengatakan, dalam kasus Baiq, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus ini.
Sri menilai perempuan yang berkonflik dengan hukum termasuk posisi perempuan sebagai saksi, korban atau terdakwa. "Perma ini dilakukan untuk segala situasi bukan hanya ketika menjadi korban. Ini berarti MA mengabaikan peraturan yang dibuatnya sendiri," ujar Sri di lokasi yang sama.
MA sebelumnya beralasan, tidak menggunakan Perma 3/2017 dalam kasus Baiq Nuril, karena peraturan tersebut mengatur perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak.
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, dalam Perma itu, perempuan yang berkonflik dengan hukum, sebagai korban, saksi, atau pihak. "Dalam perkara yang ini, terdakwa di sini perempuan sebagai terdakwa bukan sebagai korban," kata Andi.
Andi mengatakan kalau Baiq Nuril ada di posisi sebagai korban, maka Perma ini bisa digunakan. "Tapi yang diadili dalam perkara yang ditolak ini, dia diposisikan sebagai pihak terdakwa," kata Andi. #teras.id
(wd)