Solotrust.com- Setiap manusia yang hidup mengalami fase pertemuan dan perpisahan. Ada saatnya manusia tertawa, namun ada kalanya pula setiap insan manusia menangis. Tawa dan air mata tidak bisa terlepaskan dari kehidupan manusia. Tawa tidak hanya untuk kegembiran saja, bahkan tawa pun akan bisa melakukan tugasnya dengan baik ketika melihat kerakusan, kesombongan dan kebodohan yang berlintasan dalam kehidupan setiap manusia. Sementara air mata akan menangisi segala kenangan yang terjalin rapi bersama kilatan kerinduan yang menghampiri.
Itulah sedikit gambaran garapan pementasan pantomime Tawa Air Mata yang dilakukan oleh Bengkel Mime Theatre Jogja bekerjasama dengan Rumah Banjrasari di Rumah Banjarsari pada 3-4 September 2019 kemarin. Bahasa gerak nan puitik kemudian dirangkai untuk menciptakan narasi nan menyentuh dan mengalir selama pertunjukkan.
Andy Eswe sutradara pertunjukan pantomime yang berasal dari Jogja tersebut menceritakan proses garapan terbarunya serta proses kesenimanan yang dia lalui selama ini kepada Solotrust.com. Andy bercerita bahwa dia sudah lama tidak membuat karya secara kelompok. Andy mengatakan bahwa dalam penggarapan karya terbarunya ini dia kembali membaca ulang ruang yang ada, kemudian membaca ulang setting dan property, sejauh mana semua itu bisa berperan dalam pemanggungan tersebut, selain tentu saja dia tetap menekankan penggarapa padan gesture, mimik dan tubuh.
“bagi saya pantomime itu adalah tubuh.” lanjutnya.
Dalam proses berkarya dan berkesenian yang dia lalui, Andy sering melakukan pengamatan di sawah, melihat padi dan hewan-hewan, serta melihat ibu tani yang begitu setia menanam di sawah. Semua itu yang menjadi bahan perenungannya untuk menciptakan sebuah karya.
“Kesedihan menjadi bagian dari hidup kita. Tergantung kita memaknainya.” seloroh Andy bersemangat.
Bagi Andy dalam menciptakan karya pantomime, dia tetap berpegang tdengan prinsip-prinsip pantomime, yakni imajinasi, impresi tubuh, gerak, gesture dan tidak harus seperti gerakan-gerakan pantomime klasik. Andy juga menyerahkan penilaiannya kepada penonton apakah gerak yang ia ciptakan juga termasuk tari atau pantomime.
“Kita berhak menciptakan gerakan-gerakan pantomime sendiri selama masih memegang prinsipnya selama tidak bicara lewat omongan verbal.” lanjutnya lagi.
Selain berpantomime, Andy juga menulis puisi dan juga cerpen serta naskah lakon. Salah satu lakon berbahasa Jawa yang dia tulis yakni ‘Mak, Ana Asu Mlebu nGomah’ sempat mendapatkan penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta pada tahun 2017. Naskah ini juga sering dipentaskan dan dikaji oleh para mahasiswa.
Karena keluwesannya dalam bergaul dan kemoncerannya sebagai salah satu pantomime muda berbakat, pemuda lajang melankolis ini juga sering ikut serta pementasan yang disutradari oleh Agus Noor. Salah satunya Andy pernah tampil di perayaan ulang tahun Megawati ke-71 pada tahun 2018 di TIM bersama dengan Butet Kartaredjasa, Sujiwo Tejo, Happy Salma dan masih banyak lagi dengan lakon Satyam Eva Jayate karya / sutradara Agus Noor. Saat itu dia berperan sebagai peramal bisu.
Andy Eswe merasa betah berada di kesenian karena seni bisa menjadi ruang apa saja bagi dirinya, mulai dari menjadi ruang sepi dan ruang sendiri, hingga akhirnya bisa menjadi sebuah ruang ekpresi karya. Andy juga mengatakan bila ingin berkarya salah satu kiatnya ialah, “mendengar, banyak bicara dan banyak bekerja.” Ucapnya sambil tersenyum lebar. (dd)
(wd)