Hard News

Pengamat Teroris: 2005 – 2019 dari 1.200 Eks Napiter 100 Diantaranya Jadi Residivis. Butuh Ruang Sosial Baru di Masyarakat

Sosial dan Politik

22 Oktober 2019 22:01 WIB

Jack harun eks Napiter Bom Bali 1 saat mengisi seminar di Gedung Graha Solo Raya Jalan Slamet Riyadi No. 1, Surakarta, Senin (21/10/2019).

SOLO, solotrust.com – Pengamat Teroris Taufik Andrie menyebut angka residivis narapidana teroris (napiter) di Indonesia tergolong cukup tinggi, dari tahun 2005 hingga 2019 terdapat 1.200 eks napiter dan 100 diantaranya kembali menjadi teroris.

Hal itu diungkapkan Taufik saat dijumpai wartawan usai menjadi narasumber dalam seminar Peningkatan Peran Pemda dalam Rehabilitasi dan Reintegrasi Mantan Narapidana Teroris di Gedung Graha Solo Raya Jalan Slamet Riyadi No. 1, Surakarta, Senin (21/10/2019)



"Angka yang sekarang naik, terorisme meskipun belum sampai ribuan, tapi saya kira 1200 mantan narapidana teroris mungkin ada 100-an, yang kembali. Ini sepanjang 2005-2019. Penyebabnya kompleks salah satunya reintegrasi yang gagal," ucap Taufik.

Dari situlah urgensi Lembaga Ad Hoc bentuknya seperti kelompok kerja dari dinas-dinas terkait pemerintah daerah perlu dilahirkan agar fokus menjadi wadah rehabilitasi dan reintegrasi mantan napiter di daerah dapat terlaksana dengan optimal, salah satunya melalui program kerja nyata pengelolaan usaha tidak hanya seminar.

“Potensi mantan narapidana teroris kembali terlibat dalam jaringan sangat tinggi bila tidak mendapat ruang sosial baru, gap-gap kesenjangan harus diatasi, stigma masyarakat yang tidak membuka ruang bagi para napiter untuk bersosialisasi menjadi salah satu penyebab gagalnya reintegrasi tersebut sehingga dibutuhkan screening yang bagus dari Pemda,” ungkapnya.

Meskipun, kata taufik pekerjaan tersebut merupakan proses jangka panjang dan memerlukan penelitian dan pendampingan secara simultan bukan hanya setahun dan dua tahun, peran pemerintah daerah dinilai lebih stragetis efektif dalam rehabilitasi mantan napiter. Pemkot Surakarta menjadi salah satu yang aktif tapi perlu ditingkatkan.

“Pemda memiliki faktor intensitas ketimbang BNPT, seperti Yayasan Gema Salam dengan Wali Kota Surakarta yang diwujudkan dalam program, itu kan lebih barus, dilakukan di Solo, diawasi di Solo, tidak harus dari Jakarta mendatangkan orang, praktek pengeloalaan usaha misalnya,” kata Taufik.

Sementara itu, Jack Harun ek Napiter yang telah kembali seutuhnya di masyarakat dan telah membuka usaha warung soto ini menilai, pentingnya pendampingan dan ruang sosial bagi eks napiter selain itu, bagi generasi muda ia berpesan agar berhati-hati menggunakan sosial media, sebab sosial media sekarang menjadi pola teroris dalam mempengaruhi orang menjadi bagian dari kelompok.

“Sekarang cara merakit bom bisa dilihat di youtube, pola komunikasinya juga menggunakan jaring komunikasi lewat sosial media, di lain sisi, pelajar kan sedang antusias dengan sosial media jadi kemarin Yayasan Gema Salam kami juga mengadakan edukasi bagi pelajar bahaya terorisme dari sosial media, kemudian kampanye perdamaian dan program nyata lainnya dilakukan untuk eks napiter agar bisa kembali ke masyarakat seutuhnya,” bebernya. (adr)

(wd)