JAKARTA, solotrust.com - TNI AL terus melakukan investigasi terkait kapal selam KRI Nanggala 402 yang tenggelam (sub sunk) di perairan utara Bali. Segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kapal selam karam masih ditelusuri.
Dua kemungkinan yang santer muncul saat ini adalah faktor matinya kelistrikan (black out)dan faktor alam.
Dari data yang diperoleh TNI AL, di lokasi penemuan KRI Nanggala 402 ada interval solitary wave atau lebih dikenal dengan arus bawah air yang tinggi.
Satelit Jepang menangkap adanya ketebalan berbeda di bawah air pada saat KRI Nanggala menyelam di perairan Bali. Perbedaan ini sangat terlihat di perairan Selatan Lombok dan Utara Bali.
"Ini palung antara gunung dengan gunung, lalu gelombang kecepatannya 2 NM. Dan berapa untuk dayanya kurang lebih 2 juta sampai 4 juta liter untuk airnya," kata Danseskoal Laksamana Muda Iwan Isnurwanto saat konfrensi pers di Markas Besar TNI AL di Jakarta, Selasa (27/4).
Menurutnya pada lokasi tersebut, jika kapal menyelam di kedalaman 13 meter maka kapal akan terbawa arus yang cukup kuat. Pada kondisi ini, awak kapal pun tidak dapat diselamatkan.
“Jadi kalau misalnya kapal menyelam 13 meter terbawa otomatis turun tidak bisa diselamatkan lainnya, tak bisa melawan alam.” papar Iwan.
Berdasarkan pengalamannya jika kondisi black out terjadi, secara otomatis kapal selam dapat turun hingga kedalaman 90 meter dalam waktu 10 detik.
"Apa yang terjadi, [bagian] belakang [kapal selam] langsung turun. Ini 45 derajat [kemiringannya], tidak sampai 10 detik [turun] sampai 90 meter. Sehingga bisa membayangkan bagaimana posisi black out saat itu padahal periscope deep," ujar Iwan.
Saat itu kepala kamar mesin (KKM) meminta seluruh awak kapal berpindah ke bagian depan dalam kondisi gelap gulita. Permasalahan penyebab terjadinya black out saat dirinya bertugas cepat diketahui yakni ada salah satu sikring yang terputus.
Namun penyebab pasti tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 masih belum diketahui. Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Yudo Margono menegaskan tidak ada human error dalam tragedi KRI Nanggala.
“Sebenarnya sudah dievaluasi dari awal tapi saya punya keyakinan ini bukan human error tapi lebih pada faktor alam.” tegasnya.
(zend)