Serba serbi

8 Negara Bagian AS Selidiki Bahaya TikTok bagi Anak-anak

Teknologi

5 Maret 2022 10:46 WIB

Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Solotrust.com - Sebuah konsorsium yang terdiri dari 8 negara bagian Amerika Serikat (AS), sebagaimana dilansir Japan Today dari AFP, Kamis (3/3), telah mengumumkan penyelidikan bersama terhadap kemungkinan bahaya TikTok bagi pengguna usia muda, yangmana platform itu telah booming popularitasnya di kalangan anak-anak.

Konsorsium tersebut akan menyelidiki bahaya yang dapat ditimbulkan TikTok bagi pengguna mudanya dan apa yang diketahui perusahaan tentang kemungkinan bahaya itu, kata sebuah pernyataan dari jaksa agung California, Rob Bonta.



Pemimpin penyelidikan adalah koalisi jaksa agung dari California, Florida, Kentucky, Massachusetts, Nebraska, New Jersey, Tennessee dan Vermont.

Investigasi tersebut antara lain berfokus pada teknik TikTok untuk meningkatkan keterlibatan pengguna muda, termasuk upaya untuk meningkatkan frekuensi dan durasi penggunaan anak-anak.

"Kami tidak tahu apa yang diketahui perusahaan media sosial tentang bahaya ini dan kapan. Investigasi nasional kami akan memungkinkan kami untuk mendapatkan jawaban yang sangat dibutuhkan dan menentukan apakah TikTok melanggar hukum dalam mempromosikan platformnya kepada anak muda California," demikian kata Bonta dalam sebuah pernyataan.

Video pendek TikTok menjadi populer di kalangan pengguna anak-anak, memicu kekhawatiran yang meningkat dari orang tua atas potensi anak-anak mereka mengembangkan kebiasaan penggunaan yang tidak sehat atau terpapar konten berbahaya.

TikTok menyambut penyelidikan tersebut sebagai kesempatan untuk memberikan informasi tentang upayanya untuk melindungi pengguna.

"Kami sangat peduli untuk membangun pengalaman yang membantu melindungi dan mendukung kesejahteraan komunitas kami. Kami berharap dapat memberikan informasi tentang banyak perlindungan keamanan dan privasi yang kami miliki untuk remaja," demikian kata TikTok dalam sebuah pernyataan.

Dampak media sosial pada pengguna usia muda berada di bawah pengawasan baru tahun lalu, ketika whistleblower Facebook Frances Haugen membocorkan sejumlah dokumen internal perusahaan yang menimbulkan pertanyaan apakah platform itu memprioritaskan pertumbuhan di atas keselamatan pengguna.

Dokumen-dokumen itu diberikan kepada anggota parlemen, konsorsium jurnalis dan regulator AS oleh Haugen, yang telah menjadi tokoh kritis terhadap platform media sosial terkemuka.

Meski ada serbuan perhatian media tentang masalah ini dan audiensi di hadapan anggota parlemen AS, tidak ada aturan baru yang hampir diberlakukan di tingkat nasional.

Negara-negara bagian malah melanjutkan dengan upaya mereka sendiri untuk melihat ke dalam perusahaan Big Tech, dengan berusaha memaksa perusahaan untuk membuat perubahan pada hal-hal seperti perlindungan privasi.

Misalnya, konsorsium negara bagian AS mengumumkan penyelidikan bersama pada bulan November tentang Meta selaku perusahaan induk Instagram, karena mempromosikan aplikasi kepada anak-anak meskipun diduga mengetahui potensi bahayanya.

Instagram memicu kritik keras atas rencananya untuk membuat versi aplikasi berbagi foto untuk pengguna yang lebih muda, tetapi kemudian menghentikan pengembangannya. (Lin)

(zend)