SOLO, solotrust.com – Komunitas Suka Tanaman Hias Solo Raya (Sutasora) menyelenggarakan Solo Anggrek Festival 2025 pada 19-27 Juli 2025, pukul 10.00 hingga 22.00 WIB, bertempat di Gedung Graha Wisata Niaga Sriwedari. Acara ini kali pertama diadakan di Solo dan berhasil menarik banyak minat masyarakat.
Sutasora menargetkan acara ini berlangsung rutin sebagai kegiatan tahunan dengan perkiraan 10 ribu hingga 30 ribu pengunjung. Kepala Pecinta Anggrek Indonesia (PAI) Jawa Tengah (Jateng), Dody Nugroho, menjelaskan acara ini merupakan wadah berkumpul para pecinta dan pelaku usaha anggrek di Indonesia, khususnya Jawa Tengah.
“Solo Anggrek Festival 2025 sudah direncanakan jauh-jauh hari sebagai oase atau tempat berkumpul pelaku usaha anggrek, khususnya di Jateng,” jelas Dody Nugroho pada tim solotrust.com, Senin (21/07/2025).
Ketua Panitia Solo Anggrek Festival 2025, sekaligus bakal Ketua PAI Solo Raya, Arifin Mustain Wijaya menambahkan, acara ini dapat meningkatkan perekonomian di wilayah Solo Raya. Selain itu, Solo Anggrek Festival 2025 juga diharapkan menjadi tempat edukasi bagi masyarakat untuk lebih mengenal berbagai jenis anggrek.
“Jadi tujuan untuk Solo Anggrek Festival 2025 lebih untuk menggerakkan perekonomian di wilayah Solo Raya pada umumnya. Menggerakkan roda perekonomian, meningkatkan transaksi, sehingga perputaran uang di Solo Raya bisa meningkatkan taraf pendapatan, terutama bagi tenant-tenant. Sebenarnya lebih dari tujuan, kami ingin memperkenalkan keanekaragaman hayati Indonesia, terutama anggrek,” kata Arifin Mustain Wijaya.
Salah satu penjual anggrek dari Semarang, Wahyu membawa seratus jenis anggrek untuk dipamerkan. Menurutnya, anggrek jenis bulan paling diminati karena telah banyak dikenal dan mudah dirawat. Sementara itu, anggrek Papua jenis Dasi dan Catasetum (anggrek hitam), anggrek Phalaenopsis gigantea, serta anggrek Spectabile adalah koleksi langka dan paling mahal. Harga koleksi langka bisa mencapai Rp5 juta.
“Di sini kami ada seratus jenis anggrek. Adapun yang paling diminati untuk di Solo ini anggrek bulan karena sangat familier dan sangat mudah perawatannya. Paling langka ada dari Kalimantan, ada yang dari Papua, terus ada yang warna hitam itu Catasetum. Anggrek-anggrek dari Papua biasanya harganya lebih mahal dan itu paling langka. Jenis Papua ada anggrek Dasi, Spectabile, terus ada Phalaenopsis gigantea,” terang Wahyu.
Melalui acara ini, para pedagang anggrek rata-rata meraup omzet sebesar Rp10 juta hingga Rp20 juta dalam sehari. Penjual anggrek asal Karanganyar, Ahmad Subekti, mengutarakan harapan supaya Solo Anggrek Festival 2025 menjadi event tahunan guna mendekatkan penjual anggrek dengan pembeli dan wadah edukasi budidaya anggrek.
“Kalau untuk omzet per hari ini baru berjalan tiga hari ini ya, jadi alhamdulillah kurang lebih antara Rp15 juta sampai Rp20 juta. Alhamdulillah antusiasme pengunjung tinggi,” ungkap Ahmad Subekti.
“Mudah-mudahan jadi event tahunan karena kami juga ibaratnya ingin mendekat kepada pembeli dan juga edukasi untuk pembeli agar bukan cuma tahunya beli aja, tapi biar bisa merawat juga,” sambung dia.
Bukan hanya memamerkan anggrek, acara ini turut memberdayakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal melalui 92 tenant dan berbagai workshop menarik.
*) Reporter: Eka Ririn Marantika/Salma Arezha/Siti Latifah
(and_)