Solotrust.com - Di tengah niat mulia negara menghadirkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak bangsa, tersembunyi tantangan besar yang tidak boleh diabaikan: sanitai keamanan pangan. Peristiwa keracunan yang sedang merebak di masyarakat menjadi alarm kebangsaan, menggugah kesadaran bahwa gizi tanpa jaminan laik hygiene sanitasi adalah rapuh, dan kesehatan tanpa keamanan pangan hanyalah semu. Menkopangan (Menteri Koordinator Bidang Pangan) menegaskan, setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) wajib memiliki Sertifikasi Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Kebijakan ini bukan sekadar lembar sertifikat, melainkanmanifesto moral, meneguhkan bahwa keselamatan dan keamanan pangan olah siap saji pada masyarakat menjadi prioritas utama yang tidak bisa diabaikan. Juga bukan sekadar regulasi teknis, melainkan sebuah pesan panggilan tugas kepada para Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) di Puskesmas. Mereka adalah garda terdepan pengawasan laik hygiene sanitasi SPPG, memastikan bahwa setiap sajian MBG bukan hanya bergizi, tetapi juga sehat, aman, dan bermartabat.
Hal ini mempertegas keadaan dan fakta, berdasarkan data Kantor Staf Presiden (2025) menyingkap kenyataan pahit: dari 8.583 SPPG di seluruh Indonesia, hanya 34 yang memiliki SLHS. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret rapuhnya fondasi keamanan pangan bagi anak anak untuk mendapatkan MBG yang sehat dan aman.
Data Kementerian Kesehatan (2024) mencatat lebih dari 1.200 kasus keracunan pangan massal di Indonesia, dengan hampir 40% disebabkan oleh pangan olah siap saji yang disiapkan tanpa standar hygiene sanitasi memadai. WHO (2023) menambahkan, negara berkembang yang abai pada standar keamanan pangan berisiko mengalami kerugian ekonomi 2% - 4% dari PDB akibat hilangnya produktivitas dan biaya kesehatan.
Masalah utama bukan sekadar pada ketersediaan pangan, tetapi pada jaminan kelayakan hygiene sanitasi dan keamanan pangan. Tanpa SLHS, maka SPPG dapat menjadi ruang rawan yang merugikan program MBG. SLHS pada dasarnya adalah mandat moral dan teknis. Ia bukan sekadar sertifikat, tetapi sandi integritas bahwa pangan yang tersaji telah melewati uji laik higiene dan sanitasi. Di titik inilah Tenaga Sanitasi Lingkungan di Puskesmas menemukan panggilan tugasnya: melakukan pengawasan, pembinaan, dan edukasi berkelanjutan. Lebih dari sekadar pelaksana teknis, mereka adalah ujung tombak yang menjaga MBG dari SPPG tetap berpadu dengan keselamatan.
Kemitraan strategis dibutuhkan agar pesan Menkopangan tidak berhenti di ruang birokrasi. Pada City Sanitation Summit di Ternate (29–30 Agustus 2025), lahir sebuah ikrar penting: Deklarasi AKKOPSI - HAKLI. Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi meneguhkan peran daerah bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai subjek yang aktif merajut kebijakan nasional dengan kearifan lokal. Melalui deklarasi ini, para bupati dan walikota bersepakat untuk saling menguatkan, saling menopang, dan saling menginspirasi dalam menjalankan program MBG.
Dalam perspektif collaborative governance, langkah AKKOPSI adalah manifestasi nyata dari policy network di mana pemerintah daerah, organisasi profesi, dan pemerintah pusat saling mengisi dalam mencapai tujuan bersama.Salah satu poin penting dalam Deklarasi AKKOPSI – HAKLI, tepatnya pada butir ketujuh, menyatakan tekad para Bupati/Walikota untuk : “Memperkuat sinergi AKKOPSI dan HAKLI dalam mendukung sanitasi keamanan pangan pada program MBG di SPPG secara terpadu dan berkelanjutan di kabupaten/kota.”Pernyataan ini menegaskan bahwa pemerintah daerah sebagai penerima manfaat dari program MBG tidak dapat berjalan sendiri, melainkan bersinergi dengan tenaga profesional di lapangan dan lintas kementerian.
Sementara itu, Badan Gizi Nasional (BGN) dalam menyambut Pencanangan Nasional Gerakan Pembinaan Tempat Pengolahan Pangan (TPP) Laik Higiene Sanitasi di Yogyakarta, 26 Juli 2025 yang diselenggarakan oleh HAKLI, menerbitkan radiogram yang mewajibkan setiap penjamah makanan untuk mengikuti pelatihan laik higiene sanitasi. Langkah Ini bukan sekadar peraturan teknis, melainkan upaya Gerakan Nasional mewujudkan budaya higiene sanitasi di SPPG. Pesannya sederhana namun mendalam: keamanan pangan olah siap saji bukan pilihan, melainkan kewajiban kolektif bangsa.
Agar pengawasan SLHS tidak berhenti sebagai formalitas, dibutuhkan mekanisme merawat keberlanjutan SLHS pada SPPG, di antaranya :
- Standardisasi Nasional: BGN menetapkan regulasi teknis dan instrumen audit SLHS yang berlaku seragam di seluruh SPPG.
- Supervisi Berjenjang: Tenaga Sanitasi Lingkungan di Puskesmas, dengan koordinasi dari Dinkes, melakukan inspeksi rutin, memberi pendampingan teknis, dan melaporkan hasilnya ke pemerintah daerah.
- Audit Independen: Secara berkala, tim quality control lintas profesi (HAKLI dan PERSAGI) bekerja sama melakukan evaluasi mutu pangan olah siap saji, baik dari aspek higiene sanitasi maupun mutu gizi.
- Sistem Informasi Terintegrasi: Setiap hasil pengawasan SLHS didokumentasikan dalam sistem digital platform yang dapat diakses lintas kementerian, sehingga transparansi dan akuntabilitas terjamin.
Dukungan kemitraan dalam program MBG menjadi jembatan emas yang menghubungkan kebijakan pusat dengan realitas lokal. Kewajiban SLHS tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus ditopang oleh kolaborasi pemangku kebijakan di lintas kementerian, lintas profesi dan pemerintah daerah. Integerasi kemitraan dan komitmen lintas sector menjadi fondasi yang menentukan keberlanjutan kualitas layanan MBG. Dalam hal ini:
1. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)berperan mengintegrasikan kebijakan MBG dalam tata kelola pemerintahan daerah, memastikan kepala daerah (bupati/walikota) menempatkan program ini sebagai prioritas pembangunan.
2. Kementerian Kesehatan (Kemenkes)mengawal standar teknis, pedoman keamanan pangan olah siap saji, serta pembinaan Tenaga Sanitasi Lingkungan yang terlibat dalam MBG.
3. Badan Gizi Nasional (BGN), sebagai nakhoda, menuntun arah kebijakan dan standar serta pedoman, menyiapkan regulasi, mengawal sertifikasi laik higiene sanitasi, hingga memastikan setiap kebijakan nasional MBG diterjemahkan dengan tepat di lapangan.
4. HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)memastikan bahwa setiap SPPG memiliki standar kebersihan dan hygiene sanitasi yang terjaga, melalui pembinaan dan advokasi Tenaga Sanitasi Lingkungan di Puskesmas.
5. PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia)mengawal bahwa makanan yang tersaji tidak hanya aman, tetapi juga bergizi seimbang dan sesuai kebutuhan anak, melalui pembinaan dan advokasi Ahli Gizi di SPPG dan Puskesmas.
Pada akhirnya, SLHS tidak hanya menjadi sertifikasi, melainkan ikrar kebangsaan bahwa setiap anak Indonesia berhak menikmati pangan yang sehat, bergizi, dan higiene sanitasi. Untuk itu diperlukan langkah strategis:
1. Memperkuat mekanisme pengawasan SLHSmelalui supervisi berjenjang, audit independen, dan sistem informasi terintegrasi.
2. Mengoptimalkan peran HAKLI dan PERSAGIsebagai pengawal profesional yang tidak hanya mengawasi, tetapi juga membina dan advokasi keprofesian.
3. Menghidupkan solidaritas daerah melalui AKKOPSI, agar kepala daerah bergerak serempak dalam menguatkan dan mendukung program MBG.
4. Menjamin keberlanjutan dukungan lintas kementerian, dengan Kemendagri, Kemenkes, dan BGN sebagai tulang punggung kebijakan nasional.
Pada akhirnya, MBG bukan hanya soal pangan gratis, melainkan symphony of care perpaduan ilmu, profesi, dan kebijakan yang berpihak pada anak bangsa. Dari Ternate hingga ke pelosok negeri, gema deklarasi dan sinergi menjadi tanda bahwa Indonesia sedang menulis harapan, “Setiap anak-anak Indonesia layak disambut dengan gizi yang sehat dan pangan yang aman, agar mereka melangkah menuju masa depan yang lebih cerah dan penuh harapan.”
*) Oleh: Arif Sumantri. Penulis adalah Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan Lingkungan) Kementerian Kesehatan
(and_)