JAKARTA, solotrust.com - Tidak semua kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ternyata untuk menjadi kosakata yang sah menurut KBBI, ada beberapa kriterianya.
Kepala Bidang Pelindungan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Ganjar Harimansyah mengatakan, eufonik menjadi salah satu kriteria sebuah kata bisa dimasukkan ke dalam KBBI.
“Salah satunya enak didengar, eufonik lah kalau dalam ilmu bunyi. Kemudian tidak ambigu kalau dituturkan oleh orang lain. Misalnya (kata) ‘ngabuburit’ kan sudah masuk di kamus. Sudah enak kan, bunyinya. Dan bagi orang yang sudah umum mudah dipahami, konotasinya tidak jelek. sesuai dengan bunyi bahasa Indonesia. Seperti itu,” ujar Ganjar dalam keterangan tertulisnya yang dilansir solotrust.com, Jumat (17/8/2018).
“Kalau mau mencari ragamnya, klasik atau dari jenis bidang ilmu juga bisa. Kategorisasinya ada macam-macam, ya. Misalnya ada dari bidang entomologi,” katanya lagi.
Ganjar menambahkan, kategori bahasa daerah juga terdapat di dalam KBBI. Pengguna KBBI bisa mencari kosakata berdasarkan serapan dari bahasa daerah tertentu.
“Tidak hanya kosakata dari bahasa daerah. Misalnya dari Bahasa Aceh sudah diserap berapa kosakata (di KBBI), itu bisa ketahuan, yaitu ada 126 (kata) yang diserap dari bahasa Aceh. Lalu dari bahasa Jawa ada 1.247 kata,” jelasnya.
Ia mengatakan, ragam bahasa daerah pun bisa berbeda kategori, seperti Bahasa Melayu. “Ada Melayu Medan, Melayu Kalimantan, Melayu Malaysia, Melayu Manado, dan Melayu Riau. Melayu sendiri sudah dipisah, ya. Biasanya yang banyak Melayu Riau,” tutur Ganjar.
Dilansir dari laman http://badanbahasa.kemdikbud.go.id, ada lima persyaratan untuk kosakata bisa masuk ke dalam KBBI, yaitu :
- Unik. Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah, maupun bahasa asing, memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia.
- Eufonik (enak didengar). Kata yang disusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia (mudah dilafalkan).
- Seturut kaidah bahasa Indonesia. Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan.
- Tidak berkonotasi negatif. Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak diterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia.
- Kerap dipakai. Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah.
(way)