SOLO, solotrust.com - Tahun baru yang identik dengan terompet, biasanya menjadi momen panen untuk perajin terompet kertas. Namun berbeda dengan kondisi yang terjadi tahun ini yang cenderung sepi peminat.
Salah seorang perajin terompet di Solo, Warseno (45) mengaku pemesanan terompet mengalami penurunan cukup signifikan pada periode tahun baru 2019 dibanding periode tahun lalu.
"Sepi banget, ada penurunan lumayan. Dulu terompet biasa bisa keluar 10.000 tahun kemarin, sekarang paling 2.000. Kalau yang trompet naga kemarin lebih dari 1000, sekarang 300-an," tuturnya saat solotrust.com menyambangi rumahnya di daerah Mojo, Semanggi, Rabu (26/12/2018).
Menurutnya, sekitar 3 sampai 4 tahun lalu produksi terompet telah dimulai sejak bulan Oktober untuk mengakomodir banyaknya pesanan. Namun, di tahun ini dirinya dan sang istri, Sri Rahayu (45) baru mulai membuat trompet di bulan Desember akibat anjloknya permintaan tersebut.
Saat ditanya terkait penyebab menurunnya permintaan terompet, dirinya mengaku tidak tahu sebab musababnya pastinya. Ia menyebut kemungkinan terkait dengan aturan yang melarang pedagang berjualan di ruas jalan utama kota Solo, Jalan Slamet Riyadi.
"Di jalan Slamet Riyadi tidak boleh jualan. Jalan Veteran juga dulu banyak, sekarang tidak ada. Sekarang sepi banget," imbuhnya.
Saat ini beberapa pedagang terompet yang masih memesan dari dirinya berasal dari dalam kota dan area eks Karesidenan Surakarta. Sedangkan pemesan dari luar kota sudah jarang. Antara lain dari Karanganyar, Sragen, Klaten dan Sleman. Sedangkan pemesan dari Pacitan sudah tidak ambil terompet tahun ini. Selain menerima pesanan dirinya juga menjual sendiri di daerah Solo.
Adapun jenis terompet buatan Warseno ada 3 jenis yaitu terompet biasa, terompet naga dan terompet saksofon. Dengan kisaran harga jual mulai Rp5.000 sampai Rp20.000 per terompet. Harga terompet ini sama dengan tahun lalu, dan sudah 4 tahun ini harganya sama sampai sekarang. Padahal harga bahan untuk membuat terompet naik sedikit.
"Tahun lalu mulai agak sepi. Kalau biasanya pendapatan kotor bisa sampai sekitar Rp 15 - 20 juta, sekarang belum tentu dapat Rp 5 juta. Tapi ya semua disyukuri," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan keliling ini.
Untuk produksi terompet, Warseno mengaku tidak punya karyawan, hanya dibantu istrinya dan kadang-kadang seorang anaknya. Hanya dengan 2 orang, dalam seminggu, pihaknya mengaku dapat memproduksi 1000 biji terompet biasa. Untuk terompet naga dan saksofon bisa mengerjakan 50 biji dalam 2 hari masing-masing.
Pria yang mulai menjadi pengjin terompet sejak tahun 1990-an ini memanfaatkan kertas yang dibeli dari pengepul kertas bekas untuk pembuatan terompet. Selain bahan kertas karton (biasanya sampul dari pabrik yang salah cetak), juga kertas hologram, lem, dan bambu. (Rum)
(wd)