JAKARTA, solotrust.com - Kementerian Kesehatan mengundangkan regulasi dalam Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 soal ketentuan urun biaya dan selisih biaya Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS), yang ditetapkan untuk menekan potensi penyalahgunaan pelayanan di fasilitas kesehatan.
Dalam sebuah acara diskusi bersama awak media di BPJS Kesehatan Kantor Pusat, Jakarta Kamis (17/01/2019) lalu, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf menerangkan, penetapan jenis-jenis pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan usulan dari BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.
"Saat ini urun biaya memang masih belum diberlakukan, karena masih dalam proses pembahasan jenis pelayanan apa saja yang akan dikenakan urun biaya," ujar Iqbal melalui keterangan tertulis yang diterima solotrust.com.
Menurut dia, usulan itu harus disertai data dan analisis pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, Kementerian Kesehatan membentuk tim yang terdiri atas pengusul tersebut, serta akademisi dan pihak terkait lainnya, untuk melaksanakan kajian, uji publik, dan membuat rekomendasi.
Lebih jauh Iqbal menuturkan, fasilitas kesehatan wajib menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya dan estimasi besarannya kepada peserta. Sehingga ke depan, peserta atau keluarga harus memberikan persetujuan kesediaan membayar urun biaya sebelum mendapatkan pelayanan. Aturan besaran urun biaya tersebut berbeda antara rawat jalan dengan rawat inap.
"Nantinya untuk rawat jalan, besarannya Rp20.000 untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas A dan RS kelas B; Rp10.000 untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas C, RS kelas D, dan klinik utama; serta paling tinggi Rp350.000 untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam waktu tiga bulan. Perlu diperhatikan, nominal ini terbilang kecil daripada total biaya pelayanan yang diperoleh peserta," jelas Iqbal.
Sedangkan untuk rawat inap, besaran urun biayanya adalah 10 persen dari biaya pelayanan, dihitung dari total tarif INA CBG's setiap kali melakukan rawat inap, atau paling tinggi Rp30 juta.
Selanjutnya, BPJS Kesehatan akan membayar klaim RS dikurangi besaran urun biaya tersebut. Urun biaya dibayarkan oleh peserta kepada fasilitas kesehatan setelah pelayanan kesehatan diberikan.
"Ketentuan urun biaya ini tidak berlaku bagi peserta JKN KIS dari segmen Penerima Bantuan luran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah," terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Iqbal juga menerangkan soal aturan bagi peserta yang hendak meningkatkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan eksekutif. Iqbal mengatakan, Permenkes tersebut tidak melarang peningkatan hak kelas rawat di rumah sakit. Meski demikian, ada konsekuensi pembayaran selisih biaya yang harus ditanggung oleh peserta JKN KIS yang bersangkutan.
"Peningkatan kelas perawatan tersebut hanya dapat dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak kelas peserta. Pembayaran selisih biayanya dapat dilakukan secara mandiri oleh peserta, pemberi kerja, atau melalui asuransi kesehatan tambahan," terang Iqbal.
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk peningkatan kelas rawat inap dari kelas 3 ke kelas 2, dan dari kelas 2 ke kelas 1, maka peserta harus membayar selisih biaya antara tarif INA CBG's antarkelas.
Sementara untuk peningkatan kelas rawat inap dari kelas 1 ke kelas di atasnya, seperti VIP, maka peserta harus membayar selisih biaya paling banyak 75 persen dari tarif INA CBG's kelas 1. Sedangkan untuk rawat jalan peserta harus membayar biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak Rp400.000 untuk setiap episode rawat jalan.
"Sama halnya dengan aturan tentang urun biaya tadi, fasilitas kesehatan juga harus memberi informasi kepada peserta atau keluarganya tentang biaya pelayanan yang ditanggung BPJS Kesehatan dan berapa selisih biaya yang harus ditanggung peserta. Baik peserta ataupun keluarganya juga harus menyatakan kesediaannya membayar selisih biaya sebelum mendapatkan pelayanan," jelas Iqbal. (adr)
(way)