Hard News

BPIP: Pancasila Adalah Warisan Budaya Bukan Warisan Biologis

Sosial dan Politik

20 Agustus 2019 14:32 WIB

Para narasumber dalam Seminar Nasional Apresiasi Pancasila 2019, di Auditorium GPH Haryo Mataram, UNS, Jebres, Solo, Senin (19/8/2019).

SOLO, solotrust.com – Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bekerjasama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Apresiasi Pancasila 2019, di Auditorium GPH Haryo Mataram, UNS, Jebres, Solo, Senin (19/8/2019).

Baca: BPIP: Perlu Dialog Bersama untuk Pecahkan Persoalan Manokwari



Kegiatan yang digelar serentak di 13 titik di kampus UNS ini menunjukkan komitmen UNS sebagai Kampus Benteng Pancasila, yang terus berupaya menginternalisasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan civitas academika UNS.

Adapun tema yang diusung dalam seminar nasional “Pancasila sebagai Platform Pembangunan Manusia dan Kebudayaan”, menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, baik pengamat politik, pemangku kebijakan, budayawan, akademisi, dan tokoh masyarakat. Diantaranya, Dewan Pengarah BPIP AWS Sudhamek, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, Pengamat Politik Yunarto Wijaya, hingga Tokoh Masyarakat seperti Jack Harun.

AWS Sudhamek dalam materinya memaparkan negara Indonesia butuh sosok di masyarakat yang memiliki gaya kepemimpinan konstruktif berlandaskan Pancasila. Untuk itu, BPIP saat ini merancang pembentukan ‘Sujana’ atau insan pancasila yang berkarakter gotong royong sebagaimana inti dari sila-sila di dalam Pancasila.

“Gaya kemimpinan yang paling baik adalah gaya kepemimpinan zona biru. Yaitu gaya kepemimpinan yang konstruktif, memiliki sifat pembelajar, fokus kepada tujuan, peduli terhadap hasil kinerja anggota, tetapi tidak lupa memperhatikan sisi humanis dan bersedia untuk turut membangun para anggotanya. Gaya kepemimpinan ini dapat kita gali dan temukan dalam pancasila, yaitu jiwa yang bijaksana dan kompeten,” papar AWS Sudhamek.

Sementara itu, Plt Kepala BPIP RI, Prof Hariyono dalam kesempatan jumpa pers menyatakan, terdapat lima permasalahan utama berkaitan dengan penanaman dan implementasi pancasila. Yaitu distorsi pemahaman pancasila, kelembagaan atau institusionalisasi pancasila yang tidak terlaksana, keilmuan yang belum berdasar atau memasukkan nilai pancasila, hilangnya keteladanan, serta eksklusivisme.

“Salah satu kelemahan pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi, yaitu kurangnya contoh-contoh konkrit, pelaku-pelaku teladan. Pancasila bukan semata-mata filsafat atau sejarah masa lampau, tapi adalah ideologi masa depan yang memberikan harapan maka dari itu harus menjadi pegangan generasi muda,”

Ideologi Pancasila bukanlah warisan biologis akan tetapi warisan budaya yang mana tidak dirawat bisa hilang, semisal sosok orang tua pancasilais, anaknya menjadi anti pancasila, begitu pula sebaliknya, hal tersebut menjadi wajar, seperti Musso, tokoh pemberontakan komunis di Madiun yang merupakan anak seorang Kyai.

“lihat di akhir dekade dasawarsa kedua abad 21 ini perilaku-perilaku yang intoleran yang ingin mengganti Pancasila itu juga cukup tinggi, bahkan hasil survei itu juga tidak hanya terjadi pada masyarakat tetapi juga pada aparat negara, baik itu di ASN sangat memprihatinkan dari survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga itu sekitar 19% ASN tidak suka dengan Pancasila bahkan, Menhan itu juga baru saja merilis sekitar 3% dari prajurit TNI itu juga tidak suka dengan Pancasila, inilah tantangan kami untuk merangkul semua pihak.” jelasnya

Prof Hariyono pun menambahkan bahwa pancasila merupakan working ideologi. Di samping itu, untuk mencapai visi misi bangsa Indonesia, diperlukan orang-orang yang berprestasi dan mampu memberikan keteladanan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.

“Di dalam bidang keilmuan Pancasila bisa dikembangkan oleh UNS itu menjadi saintifikasi pengilmuan apa yang sering dari diri kita sebut Pancasila tidak hanya berhenti sebagai sebuah mitos dan etos, tapi Pancasila juga harus kita kembangkan sebagai sebuah logos, sehingga sebuah paradigma ilmu politik ilmu sosial ilmu ekonomi itu bisa mengambil nilai nilai fundamental Pancasila sebagai aksioma atau postulat di dalam pengembangan keilmuan,” ujarnya.

Rektor UNS, Prof Jamal Wiwoho berkomitmen untuk menjaga marwah UNS sebagai pelopor benteng pancasila, sehingga kampus bukan hanya sebagai sumber pengamalan pancasila, tetapi juga sebagai benteng peradaban untuk melanjutkan nilai-nilai intelektual pancasila.

Kata dia, ada tiga kebijakan UNS sebagai Benteng Pancasila, yaitu kebijakan di bidang akademik, bidang tata kelola, dan bidang sosial.

“Implementasi kebijakan tersebut berupa pendirian Pusat Studi Pengamalan Pancasila (PSPP), suksesi kepepimpinan yaitu pemilihan rektor dengan musyawarah mufakat, penguatan nasionalisme civitas akademika UNS salah satunya adanya 300 dosen yang sudah mengikuti Diklat Lemhanas, membangun kehidupan multikultural di kampus dengan adanya mahasiswa dari 29 negara dan lain sebagainya,” kata Jamal. (adr)

(wd)