Ekonomi & Bisnis

Gejolak Harga Cabai, Musim dan Teknologi Jadi Kendala

Ekonomi & Bisnis

23 Agustus 2019 14:54 WIB

Sidak cabai di Pasar Legi Solo


SOLO, solotrust.com - Tingginya harga cabai beberapa waktu belakangan ini, direspon Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Surakarta dengan menggelar inspeksi mendadak (sidak) pada Rabu (21/8/2019) di sejumlah pasar tradisional di kota Solo. Sidak disertai Rapat Koordinasi TPID tersebut diadakan di Pasar Gede, Pasar Legi, dan Pasar Nusukan. Sebelum sidak, agenda didahului dengan briefing di Pemkot Surakarta mulai jam 08.00 WIB. Sidak kali ini berbeda, sebab ada dialog on the spot dengan sejumlah distributor besar cabai di Pasar Legi, sebagai upaya untuk mengetahui isu gejolak harga cabai yang tak kunjung turun.



Baca: Atasi Inflasi Cabai, Kpw BI Solo Kembangkan Klaster Cabai Sragen

Wakil Ketua TPID Solo, Bambang Pramono menjelaskan, para distributor dan pedagang cabai mengeluhkan mengapa tindakan Sidak dilakukan hanya saat harga tinggi, sedangkan saat harga rendah tidak. Menanggapi hal itu perlu dipikirkan kemasan distribusinya, tidak hanya saat harga tinggi, tapi saat harga rendah pemerintah harus hadir mulai dari industri pengolahan, penyimpanan (gudang/storage) dan teknologinya harus dikembangkan.

"Memang saya melihat kalau harga volatile food ini semua tergantung teknologi budidaya dan musim. Bagaimana kita mensiasati musim itu kita harus punya pergudangan yang bagus, distribusi bagus, informasi stok di setiap tempat untuk suatu wilayah dan di antar wilayah itu penting supaya distribusi lancar. Juga teknik budidaya atau penanaman, kalau memang penanaman pada saat bukan musim ya harus diakali. Saya yakin teknologinya bisa cuman mungkin kita belum," tuturnya di sela sidak, RAbu (21/8/2019).

Pihaknya mengusulkan solusi berupa pemanfaatan teknologi  tidak hanya saat tidak musim tanam, tapi juga bila panen berlebih. Saat tidak musim panen cabai, harus ada teknologi tanam musim kemarau. Pada saat banyak cabai pun, pengolahan yang penting. Kemudian dari segi penjualan, tidak hanya dijual antar di Solo saja tapi bisa pedagangan antar provinsi. Bila memang barang banyak, cabai bisa diolah menjadi bentuk lain. Itu yang harus dipikirkan pemerintah dan semua pemangku kepentingan.

Berdasarkan pengamatan Bambang, distributor utama cabai mengambil dari 2 tempat di luar Solo. Seperti Kertosono yang barangnya bagus, tapi harganya lebih tinggi dari daerah seperti Banyuwangi atau Madura. Hal itu menunjukkan mungkin ada potensi di Kertosono yang bisa dilihat, apakah mungkin memperbanyak klaster petani-petani cabai di sana. Bahkan bila mungkin bisa menggandeng Dinas Pertanian untuk membudidayakan cabai di daerah tersebut.

"Apabila budidaya tanam cabai bisa lebih ditingkatkan di daerah penghasil, kebutuhan di Solo paling tidak bisa dipenuhi. Karena kenyataannya, catering, hotel-hotel bahkan masyarakat Solo sukanya cabai rawit merah," imbuh pria yang juga menjabat sebagai Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Solo ini.

Masalah lain yang menimpa petani cabai adalah panen cabai, baik cabai rawit hingga cabai hijau, dilakukan lebih awal karena banyak lalat buah. Artinya masalah teknologi budidaya juga menjadi penting dan untuk mengatasinya perlu kerjasama selain dengan Dinas Pertanian juga universitas.

"Bagaimana menjaga produksi cabai terutama rawit merah supaya kebutuhan masyarakat Solo bisa terpenuhi," pungkasnya. (rum)

(wd)