SOLO, solotrust.com– Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Cabang Surakarta Bimantoro menyikapi santai pro kontra di kalangan masyarakat terhadap keputusan pemerintah terkait iuran Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN – KIS) yang lebih tinggi dari sebelumnya. Seperti diketahui, tiga hari lalu, di lini masa Twitter sempat trending tagar #BoikotBPJS.
Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Terkait iuran, untuk kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang berlaku mulai 1 Januari 2020 untuk Kelas III dari Rp 25.000 menjadi Rp 42.000, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
“Sebenarnya kurang pas kalau dikatakan dinaikkan, tapi memang naik, namun sebenarnya itu adalah penyesuaian, kenaikan itu harga normal. Lha ini harganya tidak normal, sebenarnya misal kelas 3 itu kan Rp42 ribu, sebenarnya perhitungan secara ilmiah dari Dewan Jaminan Sosial Nasional nominalnya lebih dari Rp42 ribu itu. Kemarin ditetapkan Rp25 ribu, ini disesuaikan karena tidak lebih dari limit penghitungan ilmiah,” ujar Bimantoro, saat wawancara dengan solotrust.com, Kamis (07/11/2019).
Bimantoro lantas tidak setuju apabila ada pihak yang menuding jaminan kesehatan seharusnya menjadi kontribusi pemerintah seutuhnya. Ia mengklaim dari sisi nominal kontribusi pemerintah terhadap program JKN-KIS ini lebih dari angka 73 persen untuk subsidi pembayaran iuran peserta.
“Ini pola pikir selalu ada pro kontra wajar saja. Kita sudah melalui beberapa tahapan sejak diundangkan dan ini memang besar manfaatnya. Saya tanya yang kontra, apa tidak kasihan, apa tidak pernah sakit, nanti kalau sakit apa tidak kesulitan. Khususnya bagi kelas 3, itu yang bayar pemerintah lebih banyak, yang di sosial media itu dia tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang duicapkan,” kata dia.
Bimantoro menyarankan, sebaiknya pihak yang kontra iuran BPJS bisa berdiskusi bersama dengan beberapa pihak terkait sesuai prosedur. Dirinya juga mengungkapkan ketidaksepahaman terhadap kata defisit BPJS karena sejatinya yang terjadi adalah missmatch.
“Iuran yang ditetapkan Perpres di bawah penghitungan ilmiah aktuaria. Defisit itu konotasinya negatif, tidak bisa mengelola, ini beda, padahal jaminannya luas, benefit banyak. Saya tegaskan penetapan penyesuaian itu ya bukan BPJS lagi, itu pemerintah. Negara hadir 50 persen lebih peserta itu supporting by pemerintah, kalau kontribusi nominal rupiah lebih dari 73 persen subsidi pemerintah,” tukasnya. (adr)
(redaksi)