Serba serbi

Penderita HIV/AIDS Mempunyai Hak yang Sama Memperoleh Pelayanan Kesehatan

Olahraga

5 Januari 2018 08:55 WIB

Ilustrasi.

SOLO, solotrust.com- Setiap hembusan nafas manusia patut diperjuangkan, tak terkecuali anak penderita HIV/AIDS. Namun perhatian untuk menangani masalah kesehatan bagi mereka dirasa masih kurang. Begitulah curahan hati Puger, Pengurus Rumah Singgah Anak dengan HIV/ AIDS (ADHA) di komplek Taman Makam Pahlawan Jurug. Puger mengatakan bahwa pihaknya masih membutuhkan banyak dokter yang bersedia menjadi relawan di Rumah ADHA. Karena menurutnya, masih sedikit tenaga kesehatan yang telaten dalam menangani kesehatan anak-anak penderita AIDS.

"Kami tidak punya relawan dokter, kami harus ke rumah sakit. Sekarang ke rumah sakit mudah, tapi pernah kayak dokter mata, mereka kayak pasien tidak harus ke sini lagi. Seperti masih kurang memahami sindrom penyakit AIDS. Atau kurang menyelidiki tentang apa," pendapatnya.



Puger lantas bercerita terpaksa membawa anaknya yang tengah menderita sakit mata ke luar kota untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. "Kami bawa ke Yogyakarta karena mereka lebih paham walaupun dengan anak penderita HIV/AIDS. Saya jujur, 'ini anak dengan HIV/AIDS, gimana dok?' Dokternya lebih memahami. Akhirnya anaknya membaik, walaupun sekarang sudah meninggal. Tapi paling tidak mereka dapat pengobatan," lanjutnya.

Dia kemudian mengenang kembali bagaimana anak tersebut dirawat di salah satu rumah sakit di Surakarta sebelum meninggal. "Penanganannya kurang. Dokternya malah menyerah. Ada dokter perempuan yang tidak menyerah, sedangkan dokter laki-lakinya malah menyerah. Tapi bagaimana pun dia seorang dokter, tidak boleh menyerah. Walaupun pada akhirnya meninggal, dia harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik," ungkapnya.

Puger memahami bahwa menangani anak-anak dengan HIV/AIDS tidaklah mudah. "Semua pelayanan di rumah sakit itu kami nilai. Anak-anak kami diperiksa dengan dokter siapa, kami nilai. Kami menemukan ada dua dokter bagus yang menangani anak-anak dengan AIDS/HIV," tandasnya.

Menanggapi permasalahan tersebut, dr. Eggi Arguni, dokter Anak RSUP Dr. Sardjito mengatakan bahwa semua pasien anak dengan HIV/AIDS harus diperlakukan sama dengan pasien lainnya. Akan tetapi memang tidak sepenuhnya penyakit anak dengan HIV/AIDS bisa ditangani oleh seorang dokter umum atau dokter anak saja. Ada beberapa penyakit yang butuh dirujuk ke dokter spesialis.

"Untuk sakit mata, mungkin ada beberapa penyakit mata yang memang membutuhkan penanganan spesialis mata, jadi tidak cukup dengan dokter umum atau dokter anak," kata dr. Eggi.

Menurutnya, ketika anak tidak langsung sembuh setelah berobat, bukan berarti dokter yang menangani tidak bagus. "Ada penyakit-penyakit yang penyebabnya virus sehingga membaik sendiri. Jadi saat diperiksa ke (salah satu rumah sakit di Yogyakarta -red) mungkin memang sudah waktu membaik juga bisa. Sehingga kesannya seolah-olah dokter terakhir yang paling bagus. Padahal sebenarnya mungkin akan sama saja penanganannya dengan dokter yang pertama," terang dr. Eggi.

dr. Eggi menerangkan, semua cara menangani pasien sudah memiliki aturan dan batasannya, termasuk ketika pasien memasuki kondisi kritis. "Tindakan-tindakan yang dilakukan pada tahap-tahap akhir juga ada batasnya. Misal pada saat sakit sudah parah, terjadi henti jantung dan nafas, maka tindakan untuk memacu jantung hanya dengan memicu sebanyak 3 kali. Bila tidak berhasil membangkitkan denyut jantung lagi, maka tetap akan dihentikan/tidak dilanjutkan dan kemudian pasien dinyatakan meninggal," ungkap dr. Eggi.

"Banyak penyakit kronis banyak mempunyai prognosis (kemungkinan outcome) yang buruk. Artinya memang keadaan penyakit tersebut sudah sampai tahap (stage) yang parah sehingga dari segi keilmuan kedokteran tidak banyak lagi yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan, yang bisa dilakukan hanya mensupport dengan tindakan pengobatan paliatif," imbuhnya. (mia)

(wd)