Ekonomi & Bisnis

Jadi Tumpuan Energi Nasional, Pemerintah Kembangkan 7 Skema Hilirisasi Batubara

Ekonomi & Bisnis

15 Oktober 2020 11:31 WIB

Pemerintah mengembangkan skema hilirisasi industri batubara (Dok. Istimewa/esdm.go.id)

Solotrust.com - Perkembangan global mengedepankan kebutuhan energi berbasis prinsip keberlanjutan dan ramah lingkungan, mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengembangkan skema hilirisasi industri batubara. Hal ini sebagai jawaban sekaligus peluang bagi sektor tersebut dalam menjaga kebermanfaatan bagi perekonomian nasional.

"Kita harus mengkonversi bisnis batubara sesuai dengan perkembangan global dan dalam negeri, misalkan menerapkan Clean Coal Technology (CCT)," kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Sujatmiko pada acara Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, pekan ini, dilansir dari laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, esdm.go.id.



Lebih lanjut, Sujatmiko mengungkapkan ada tujuh skema hilirisasi batubara yang tengah dikembangkan pemerintah, yakni gasifikasi batubara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture .

"Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung (backbone) energi, baik di Indonesia maupun dunia," tegasnya.

Kementerian ESDM menargetkan penambahan tiga fasilitas peningkatan mutu batubara (coal upgrading) pada 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.

Sementara proses gasifikasi akan dilakukan PT Bukit Asam sebagai upaya subtitusi Liquid Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada 2024. Hal serupa dilakukan PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.

Adapun untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.

Demi mempercepat proses hilirisasi, kata Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif nonfiskal yang diberikan, antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.

Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti nol persen itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda, yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah. Dengan efek berganda itu, penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi.

"Kalau industri jalan, maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.

Pihaknya memastikan potensi sumber daya batubara di Indonesia cukup besar dengan total 149 miliar ton dengan total cadangan hingga 38 miliar ton.

"Aset ini harus jadi return, bagaimana batubara terus memberikan manfaat bagi bangsa dan negara," harap Sujatmiko. 

(redaksi)