Hard News

Cerita Warga Pesisir Saat Gempa Malang, Mereka Pada Ngemper Saat Malam

Nasional

12 April 2021 10:43 WIB

Ilustrasi.

MALANG, solotrust.com- Sudah dua jam Joni Adilan Sahab melatih tiga tamunya berselancar di perairan Pantai Lenggoksono, Desa Purwodadi, Kecamatan Lenggoksono, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (10/4/2021).

Sekitar pukul 12.30 WIB, Joni membawa ketiga tamu dan Tempo balik ke pondoknya yang jadi kantor Joni Surf Camp di Pantai Wediawu. Pondok semi terbuka ini berlokasi 80 meter dari bibir pantai. Pantai Wediawu dan Pantai Lenggoksono bersebelahan di Desa Purwodadi dan sama-sama di wilayah pesisir selatan dan hanya dipisahkan perbukitan.



Sejam berlalu dan mendekati pukul 14.00 WIB. Joni memberi tiga kelapa muda untuk ketiga tamu. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Purwodadi ini pun membuatkan segelas kopi untuk Tempo. Baru dua kali menyesap, gempa pertama datang. Lima orang yang berada di pondok langsung berlari keluar. Joni sempat menyerukan semua orang di pondoknya agar jangan semburat berlarian dan meminta mereka tetap tenang.

Tak sampai semenit, tepat pukul 14.00 WIB, gempa kedua bermagnitudo 6,7 datang mengguncang pondok dan isinya. Tempo dan Joni ikut meninggalkan pondok dengan berjalan cepat. Hanya ada dua keping genting yang jatuh.

Semua warga desa keluar rumah dan berdiri di jalan desa. Beberapa warga mengamati kondisi laut. “Kalau airnya surut, itu tanda akan datang tsunami. Untung airnya cuma bergolak biasa sehingga kami tidak harus naik ke bukit,” kata Kasiadi (66), seorang nelayan di Lenggoksono yang berasal dari Kabupaten Jember, dilansir dari teras.

Joni menimpali bahwa semua warga yang mendiami daratan Pantai Lenggoksono dan Pantai Wediawu sudah terbiasa mengalami gempa. Sejak gempa dan tsunami melantak Aceh, mereka jadi tahu ciri utama kemunculan tsunami, yaitu surutnya air laut.

Karena itu, menurut Joni, warga Purwodadi punya kewaspadaan tinggi. Mereka sangat siap melakukan evakuasi mandiri jika terjadi gempa besar yang menimbulkam tsunami. Kesiapan ini didukung oleh topografi maupun kontur tanah yang berbukit. Topografi Pantai Wediawu dan Pantai Lenggoksono berceruk dan diapit perbukitan.

“Kalau di pantai terbuka tanpa bukit pelindung, mungkin laju tsunami cepat menghantam daratan dan merusak bangunan. Kalau di sini, mungkin gelombangnya sudah melemah karena terhalang cerukan pantai. Kalau pun ada tsunami, kami bisa cepat mengamankan diri ke perbukitan terdekat,” ujar Joni, pemuda yang pernah tinggal di Bali itu.

Menurut Joni, warga desa tetap bersikap dan beraktivitas santai pasca-gempa tapi tetap waspada. Sebagai bentuk kewaspadaan, semua warga Pantai Wediawu dan Pantai Lenggoksono tidur di luar rumah saat malam. Istilahnya ngemper alias tidur di emperan rumah. Ada beberapa warga pria yang melekan berjaga sampai pagi untuk mengantisipasi kemunculan gempa susulan.

Bahkan, ada warga yang mengamankan barang-barang rumah tangga di dataran bukit yang terbuka. Mayoritas warga pun mematuhi petunjuk jalur evakuasi yang dipasang Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang.

Rambu-rambu evakuasi banyak dipasang di permukiman dan pantai Wediawu dan Lenggoksono. Hampir semua kawasan pantai selatan Malang, terutama dan khususnya yang jadi objek wisata maupun banyak dihuni penduduk, sudah dipasangi petunjuk jalur evakuasi saat terjadi gelombang pasang besar, gempa maupun tsunami.

Selain rambu tersebut, di banyak pantai wisata dipasangi larangan mandi-mandi di perairan laut karena gelombang laut selatan terkenal besar dan ganas. Sudah banyak wisatawan yang terseret hingga tenggelam dan ditemukan meninggal.

Namun, sejauh dan seingat Joni sejak pulang dari Bali, BPBD maupun organisasi perangkat daerah (OPD) teknis terkait belum pernah mengadakan penyuluhan dan pelatihan tentang mitigasi kebencanaan.

“Pemasangan rambu-rambu keselamatan, seperti rambu evakuasi, itu sangat bagus dan patut diacungi jempol, tapi lebih mantap lagi jika disertai penyuluhan dan pelatihan tentang mitigasi bencana biar kami semua bisa lebih kenal bahaya gempa dan tsunami, serta bersiap sedini mungkin untuk menyelamatkan diri,” ujar Joni.

Kepala BPBD Kabupaten Malang Bambang Istiawan mengatakan pemasangan rambu-rambu itu dimulai secara bertahap sejak September 2019. Tujuannya untuk memudahkan penanganan korban bencana alam di Kabupaten Malang.

Rambu-rambu dipasang di lokasi-lokasi rawan bencana alam, terutama di titik rawan bencana tanah longsor dan pantai yang rawan terhantam tsunami. BPBD Malang sangat berharap rambu-rambu yang dipasang memudahkan warga untuk mencari titik aman sewaktu-waktu terjadi bencana alam. Sedangkan penyuluhan maupun pelatihan mitigasi bencana bisa diagendakan setelah penanganan pasca-gempa magnitudo 6,7 Sabtu kemarin tuntas. #teras.id

(wd)