Hard News

Sejarah Hari Jadi Kota Solo dan Nilai Humanis Perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala

Jateng & DIY

17 Februari 2022 12:44 WIB

Kota Solo berawal dari perpindahan Keraton Mataram Islam dari Kartasura ke Desa Sala (baca: Sàlà). (Foto. Dok. solotrust.com/dks)

SOLO, solotrust.com - 17 Februari 2022, Kota Solo atau Kota Surakarta merayakan Hari Jadi ke-277 Tahun. Hari Jadi Kota Solo ditetapkan berdasarkan pendeklarasian nama “Surakarta Hadiningrat” oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II (PB II) sebagai nama resmi baru kerajaan Mataram Islam yang sebelumnya bernama “Kartasura Hadiningrat”.

Diungkapkan oleh Ketua komunitas pegiat sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, pendeklarasian nama “Surakarta” juga bersamaan dengan perpindahan  keraton beserta keluarga kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala (baca: Sàlà), atau tempat Keraton Kasunanan Surakarta berdiri saat ini.



 “Pakubuwono II mendeklarasikan nama Surakarta itu ada dalam satu rangkaian di hari yang sama,” kata Dani saat ditemui solotrust.com Rabu (16/2).

Pergantian nama dimaksudkan agar nantinya nama baru tersebut membawa keberuntungan bagi Kasunanan yang saat itu dipimpin PB II.

 “Jadi Pakubuwono II itu memang sengaja menganti nama Kartasura menjadi Surakarta saat berpindah ke Desa Sala (baca: Sàlà) ini dengan harapan dengan nama yang diganti, garis-ing nasib juga berganti,” kata Dani.

“Sura berarti berani, Karta berarti tentram,” imbuh Dani.

Humanisme Pakubuwono II dalam Pembangunan Keraton Kasunanan di Desa Sala

Sebelum menjadi ibu kota baru kerajaan Mataram, dulunya Desa Sala merupakan daerah rawa-rawa. Dan kala itu Desa Sala dipimpin oleh Ki Gede Sala.

Menurut penuturan Dani, dalam perpindahannya, PB II menggunakan pendekatan-pendekatan yang humanis, seperti mengutus beberapa utusan kerajaan untuk bertemu Ki Gede Sala saat itu untuk membahas perpindahan keraton. Bahkan, PB II sendiri juga sempat menemui langsung Ki Gede Sala.

“Keraton Solo (Kasunanan) itu dibangun di atas nilai-nilai humanis. Kalau Pakubuwono II arogan –dengan alasan kondisi keraton (Kartasura) rusak–  bisa saja. Tapi ada negosiasi ada rembug-an beberapa kali, antara utusan-utusan keraton dengan Ki Gede Sala saat itu. Bahkan pakubuwono II datang sendiri bertemu dengan Ki Gede Sala,” kata Dani.

Adapun tempat pertemuan PB II dengan Ki Gede Sala berada di dalam Benteng Vastenberg saat ini. Tempat pertemuan itu diabadikan dengan pohon beringin di dalam benteng.

 “Letaknya ada di dalam Benteng Vastenberg,” sebut Dani.

Sehingga, cara-cara humanis ini yang membuat warga Desa Sala kala itu turut membantu proses pendirian Keraton Kasunan Surakarta. Salah satunya, warga Desa Sala bergotong-royong menguruk rawa-rawa di sekitaran keraton.

“Warga desa Sala kemudian sayuk rukun, bareng-bareng ikut membantu proses pembangunan keraton,. Pertama yang dilakukan warga Sala adalah menguruk rawa-rawa,” lanjut Dani.

Sebaliknya, sebagai balas budi atas kerendahan Ki Gede Sala dalam menyerahkan Desa Sala ke pihak keraton, sampai saat ini pihak keraton masih merawat bekas rumah Ki Gede Sala yang berada di dalam Siti Hinggil Keraton Kasunanan Surakarta.

“Pihak keraton Kasunanan itu tidak pernah melupakan jasa Ki Gede Sala, bekas rumah Ki Gede Sala sampai sekarang masih dilestarikan pihak keraton, tepatnya di Siti Hinggil Keraton Solo (Keraton Kasunanan),” terangnya.

Berbagai Versi Hari Jadi Kota Solo

Banyak sejarawan masih mendebatkan perihal tanggal jadi Kota Solo. Dani menyebut, hingga saat ini terdapat tiga versi hari jadi Kota Surakarta atau Kota Solo, yakni 17 Februari 1945 seperti yang ditetapkan secara umum saat ini, kedua berdasar Babad Giyanti yakni 20 Suro 1670 Jawa yang berarti 20 Februari 1945 Masehi, dan yang ketiga setahun setelah bangunan inti keraton selesai dibangun pada 1746.

Dani menilai, jika Hari Jadi Kota Solo ditetapkan berdasarkan perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala –yang juga bertepatan dengan pendeklarasian nama Surakarta–  seharusnya hari jadi Kota Solo itu ditetapkan 20 Februari.

“Mengacu pada Babad Giyanti ; bertepatan hari Rabu pagi, tanggal 17 Suro, dengan sengkalan 1670 tahun Jawa, itu yang sebenarnya 20 Februari 1745, tapi nggak tau kenapa saya selalu menemukan 17 Februari 1745,” jelas Dani.

Hal tersebut, menurut Dani perlu ada kajian ulang, walau dinyatakannya juga, kekeliruan tersebut sudah terlanjur menjadi agenda rutin tahunan di Kota Solo.

“Itu yang sebenernya perlu ada kajian ulang, nggak perlu direvisi nggak apa-apa, tapi perlu ada kajian ulang,” pungkas Dani. (dks/riz)

(zend)