JAKARTA, solotrust.com – Indonesia menjadi negara dengan konsumsi rokok tertinggi se Asia Tenggara. Data Southeast Asia Tobacco Control Aliance (SEACTA) 2016 lalu mencatat, 61,29 juta atau 34 persen penduduk Indonesia merupakan perokok.
Diperkirakan, angka tersebut masih tinggi hingga 2022 ini. Hal ini menjadi keprihatinan banyak pihak, terlebih, menurut dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), merokok dapat meningkatkan risiko Covid-19.
Hal itu lantaran merokok dapat meningkatkan reseptor ACE 2 atau protein di permukaan organ-organ tubuh. Untuk diketahui, reseptor ACE 2 menjadi tempat menempelnya virus sebelum masuk tubuh.
Feni memaparkan, perokok memiliki 40-50 persen lebih banyak reseptor ACE 2, sedangkan mantan perokok memiliki reseptor ACE 2 lebih sedikit yakni 30 persen.
“Berhenti merokok dapat mengurangi risiko Covid-19,” kata Feni dalam webinar Rokok dan Pandemi Covid-19 yang diadakan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) Kamis (24/3) lalu.
Belum lagi ditambah dengan risiko penyakit penyerta komorbid dari perokok, seperti gagal jantung, kanker dan lain sebagainya. Feni lanjut memaparkan data dari penelitian Meta Anilisis bahwa 9,7 persen perokok (878 orang) mengalami sakit, pun 5,5 persen (495) orang yang punya riwayat merokok
Pun gejala Covid-19 berat datang dari orang yang punya riwayat merokok sebesar 17,8 persen, sedangan penyintas Covid-19 bergejala berat non-perokok sebesar 9,3 persen.
“Memang efek akut rokok tidak dirasakan, tapi pada saat komorbid ini muncul biasanya sudah mulai terlambat,” lanjutnya.
Tidak mudah untuk berhenti merokok
Rokok memiliki zat adiksi nikotin yang dapat menyebabkan orang mengalami kecanduan dan susah untuk berhenti merokok. Feni menjelaskan, bahwa zat nikotin tersebut akan terserap dan diterima reseptor otak, lantas terjadi pelepasan dopamin yang memicu rasa nyaman.
Namun, saat rasa nyaman itu hilang, orang yang sudah merokok akan kembali merokok untuk mencari efek senang yang sifatnya sementara tersebut.
“Saat dopamin berkurang rasa nyaman itu hilang dan memicu keinginan untuk merokok kembal,” ujar Feni.
Selain faktor zat nikotin, Feni juga menyebut jika faktor psikologis seperti kebiasan dan lingkungan juga menyebabkan orang susah untuk berhenti merokok.
“Ada perilaku tertentu yang jadi kebiasaan, misalnya habis makan harus merokok, pagi-pagi ke toilet harus dipancing dengan rokok, atau pengaruh lingungan,” imbuhnya.
Sementara itu, relawan Indonesia Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), Rama Tantra, mengatakan pihaknya menggunakan tiga cara utama dalam menekan angka perokok, yakni dengan membangun motivasi, membentuk lingkungan positif, dan sosialisasi serta edukasi untuk meningkatkan pemahaman bahaya merokok.
“Coba didorong dulu melalui pendekatan kekeluargaan, sampai menemukan niat untuk berhenti merokok. Ketika sudah ketemu niat berhenti merokok, misalnya setiap hari kurangi konsumsi rokoknya. Lalu kita dukung lingkungannya, kita ajak orang tersebut untuk berada di tempat yang tidak mempengaruhi dia untuk merokok, misalnya di rumah jangan ada asbak,” katanya.
“Dan tidak boleh berhenti sosialisasi edukasi, jadi penyampaian-penyampaian fakta, agar pengetahuan risiko merokok itu berbahaya maka itu juga bisa menjadi bahan,” imbuhnya.
Selain dengan usaha-usaha itu, Kemenkes dalam hal ini juga menyediakan layanan berhenti merokok yang dapat diakses siapapun melalui: 0800-77-6565. (dks)
(zend)