Hard News

Tahok Legendaris Pasar Gede: Sudah Ada Sejak 1968, Dulu Pikulan Sekarang Gerobakan

Jateng & DIY

23 Mei 2022 17:55 WIB

Citro, penjual tahok di kawasan Pasar Gede Solo. (Foto: Dok. Solotust.com/dks)

SOLO, solotrust.com – Tangan sepuh itu nampak masih sibuk mengeruk sari kedelai di gerobaknya yang diparkir tepat di sisi barat Tugu Jam Pasar Gede, Solo. Ialah Citro, pria lanjut usia yang berjualan tahok –  makanan yang terbuat dari sari kedelai dan kuah jahe –  di tempat tersebut.

Pagi itu, Jumat (20/5) seusai menyajikan mangkok tahok demi tahok, Citro nampak santai menyembulkan kretek ditemani susu putih hangatnya. Sesekali Citro menolak permintaan pembeli, yang di saat bersamaan, kaleng berisi sari tahoknya juga tak lagi tersisa tepat di jam biasa pulang sekira pukul 09.00 WIB.



Citro bukan wajah baru di tempat tersebut, ia mengaku sudah berjualan sejak tahun 2000-an di Pasar Gede. Sebelumnya, Citro sudah berjualan di Solo sejak 1968 silam. Dulunya Citro berjualan berkeliling memikul tahoknya dari tempatnya tinggal di sekitaran Pasar Gede hingga ke Stasiun Solo Balapan dan Pasar Legi.

Sementara, Citro aslinya merupakan warga asli Jl Wates, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Citro mengungkapkan, awal mula ia hijrah sejak 1968, saat mendapat tawaran dari juragannya yang tinggal di Solo.

“Saya jualan gerobak di sini dari tahun 2000. Kalau sebelumnya saya keliling, dari sini, ke [Stasiun Solo] Balapan, Pasar Legi. Dulu awal jualan dari 1968, waktu itu sebenarnya juragan sudah bikin tahok dari jaman Jepang, cuma bubuknya baru ada banyak 1968, habis itu saja jualan. Rumah saya di Sedayu, Bantul, Jalan Wates,” ungkap Citro saat ditemui Solotrust.com, Jumat (20/5) pagi.

Dikatakan, dulu ada sekitaran 18 orang yang berjualan tahok dari juragan yang sama. Namun, perlahan dari 18 itu hanya menyisakan Citro dan anaknya yang masih berjualan di Pasar Gede.

Untuk saat ini pun, wajah Citro juga mulai sulit dicari, sebab, ia kini memasrahkan (menyerahkan-red) dagangannya ke anaknya. Citro hanya berjualan saat anaknya berhalangan.

“Dulu ada 18 orang, sekarang habis tinggal saya,” sebutnya.

“Ini yang megang anak saya yang terakhir, saya sudah nggak kuat, biasanya yang jualan anak saya, kebetulan saya jualan hari ini, saya tinggal dolan-dolan,” tambahnya.

Citro berjualan setiap harinya pukul 05.30 WIB – dagangannya habis sekira pukul 09.00 WIB. Ia menyiapkan dagangannya sejak tengah malam.

“Kalau ini bikinnya jam 1 malam, setiap hari,” ungkapnya.

Selama berjualan, Citro menuturkan, ia tak kehabisan pelanggan. Seperti pagi itu, ia menolak permintaan sejumlah pelanggan lantaran dagangannya sudah habis lebih dulu. Demikian, Citro tak mampu menambah lagi stok tahoknya. Terlebih, Citro masih menggunakan alat tradisional yang terbuat dari batu, untuk menjaga keorisinilan tahoknya.

“Bikinnya susah, kedelai itu dicuci bersih, digiling pakai batu ada lubangnya, sebentar-sebentar dikasih air, airnya ditampung di ember, nanti campur air bersih, terus ditaruh ember besar, terus di dalamnya dikasih mori diperes.  Terus gulanya jahe pandan sereh, direbus, diaduk, terus masak jahenya diambil, terus sudah matang,” jelasnya.

“Lha memang alat tradisional, soalnya kalau mesin kedelainya bau minyak,” tukasnya. (dks)

(zend)