SOLO, solotrust.com - Senyum Tolo nampak hangat menyapa siang itu, Jumat (16/9) di balik gerobaknya depan Pasar Ngarsopuro, Jalan Ronggowarsito, Keprabon, Banjarsari, Solo. Tangannya nampak sibuk mencampur panganan yang terbuat dari tepung, serabi, ketan, dan juroh. Ya makanan yang dikemas Tolo siang itu ialah petolo mayang, panganan kuno khas provinsi sebrang, Jawa Timur (Jatim).
Serupa dari makanan itu berasal, pria penjaja itu juga datang dari Jatim, tepatnya dari Blitar. Ia menjual petolo mayang di Solo sejak 13 tahun silam.
Tolo mengungkapkan, dagangannya yang ia bawa ke Solo ini merupakan turun-temurun dari tiga generasi orang tuanya yang berasal dari Malang dan Blitar. Tentu, tangannya tak canggung acapkali menyiapkan porsi demi porsi petolo mayang.
"Dulu bikin kayak gini ya buat keluarga, ya turun temurun lah, sudah tiga generasi. Saya mencoba merantau ke Solo," kata Tolo.
Selama berjualan di Solo, ia mengaku mampu menjual paling hingga 200 porsi/hari. Pembelinya berasal dari beberapa generasi. Namun tak jarang, banyak pembeli baru yang baru merasakan panganan khas Jatim itu.
"Pembeli baru setiap hari ada, itu kepengin dari teman, dari internet," terangnya.
Ia mengungkapkan, jajanan seperti yang ia jual itu kebanyakan dijual di Jatim. Kendati di Kota Bengawan jajanannya tak begitu populer, ia tetap mampu menyambung hidupnya bahkan mempertahankan eksitensi petolo mayang.
Dari jualan panganan tradisional ini pula, ia mampu membeli rumah di Solo dan memiliki usaha pembuatan tusuk satai di tanah asalnya, Blitar.
"Ya saya bisa beli rumah di Bonoloyo, punya usaha bikin tusuk satai, ya dari ini, mulanya dari petolo mayang," ungkapnya.
Sementara itu, dalam berjualan Tolo biasanya membuat adonan di dini hari dan ia jual pukul 11.00 WIB hingga sore. Ia mengaku masih ingin melanjutkan warisan tiga generasi itu kendati sudah memiliki usaha lain.
"Sebetulnya sementara masih ini, kalau ini kayaknya terus, kalau sampingan lain pasti ada," ucapnya. (dks)
(zend)