Hard News

BMKG: 2024 Jadi Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah, Perubahan Iklim Ancam Kesehatan

Nasional

7 Mei 2025 09:53 WIB

Ilustrasi (Dok. Pixabay/Stux)

JAKARTA, solotrust.com - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan 2024 resmi menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55°C di atas tingkat praindustri.

Angka ini melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim. Peringatan itu disampaikan dalam pidatonya pada Forum Inovasi Climate Smart Indonesia di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta, Senin (05/05/2025).



“Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” kata Dwikorita Karnawati, dilansir dari laman resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, bmkg.go.id.

Dijelaskan, perubahan suhu terjadi saat ini jauh lebih cepat dibanding perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu. Dwikorita Karnawati menegaskan, percepatan ini menjadi indikator serius akan krisis iklim yang tengah berlangsung.

Tanpa upaya mitigasi kuat dan kolaboratif, perubahan suhu ekstrem berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia.

“Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” lanjutnya.

Data observasi BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu terus berlanjut sejak 1981. Pada 2024 mencatat suhu rata-rata nasional tertinggi sebesar 27,52°C. Kondisi ini, menurut Dwikorita Karnawati bukan sekadar anomali, namun bukti nyata krisis iklim telah berlangsung dan akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital, termasuk kesehatan publik.

Pihaknya memaparkan, perubahan iklim tak hanya menyebabkan cuaca ekstrem, namun juga meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, gangguan kesehatan mental, hingga memburuknya kualitas hidup masyarakat. Perubahan pola curah hujan dan suhu berkontribusi terhadap meningkatnya kasus infeksi berbasis air dan makanan, seperti kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga seperti demam berdarah dan Lyme disease.

Adapun untuk menjawab tantangan itu, BMKG bersama-sama dengan Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), didukung Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS) dan Mohamed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI) mengembangkan inisiatif Climate Smart Indonesia sedang mengembangkan sistem peringatan dini multibahaya berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Sistem ini dirancang tidak hanya untuk memperingatkan potensi bencana alam seperti gempa dan tsunami, namun juga untuk mendeteksi dini lonjakan penyakit yang sensitif terhadap iklim.

“Teknologi saat ini, BMKG bisa memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85 persen. Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi hingga skala kota, kabupaten, atau bahkan satu desa,” jelas Dwikorita Karnawati.

BMKG juga mengembangkan platform layanan seperti DBDKlim yang telah diterapkan di Jakarta dan Bali untuk memberikan peringatan dini terhadap potensi lonjakan kasus demam berdarah. Inisiatif ini berhasil mendorong pemerintah daerah melakukan langkah-langkah aksi dini (aksi preventif), seperti fogging, edukasi masyarakat, dan pemberantasan sarang nyamuk secara terarah dan tepat waktu.

Dwikorita Karnawati mengingatkan, Indonesia sedang bersiap memasuki musim kemarau yang biasanya diiringi peningkatan suhu dan memburuknya kualitas udara. Risiko kekeringan dan polusi udara, terutama partikulat halus PM 2.5, semakin tinggi karena minimnya curah hujan dan pergerakan angin stagnan. BMKG kini memantau kualitas udara dan menyajikannya secara real-time melalui aplikasi Info BMKG yang dapat diakses masyarakat untuk mengambil tindakan mitigasi sejak dini.

Dwikorita Karnawati menegaskan, tantangan ini tak bisa dihadapi satu lembaga atau sektor saja. Dibutuhkan kolaborasi lintas kementerian, lembaga, akademisi, komunitas, dan dunia usaha untuk memperkuat sistem peringatan dini dan ketahanan kesehatan nasional. Ia juga menyampaikan kesiapan BMKG untuk terus berbagi data dan teknologi yang dimilikinya kepada semua pihak.

“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” tutup Dwikorita Karnawati.

(and_)