SOLO, solotrust.com - Balai Peneliti dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS) Kota Surakarta menganggap erosi jurang sebagai ancaman serius bagi munculnya sedimentasi sungai. Untuk menangani erosi, perlu diperhatikan jenis jurang.
"Ada dua jenis jurang, yakni U dan V, itu perlu diperhatikan, agar mengetahui cara dan metode yang tepat dalam menangani erosi," Jelas Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Balitek DAS) Kota Surakarta Nur Sumedi, di sela pelatihan pengendalian erosi jurang di Hotel Sala View, Selasa (24/7/2018).
Menurutnya, upaya penanganan erosi jurang yang ada saat ini belum ada konsep yang komprehensif dan tidak memperhatikan aspek tanah maupun bentuk jurang, secara teknis masih sebatas dalam pendirian bangunan pengendali yang dibuat tunggal dan belum paralel.
Sehingga, kata Nur Sumedi, hal itu memberikan dampak pada bangunan penyangga yang mudah longsor dan tidak berfungsi lantaran cepat rusak karena usianya tidak dapat bertahan lama.
"Jika tidak sesuai dengan tipe jurang, maka fungsi dan umur dam pengendali tidak optimal disamping mudah hancur rusak," katanya
"Erosi jurang ini disebabkan pengikisan tanah oleh air hujan. Lama-kelamaan erosi terjadi dan mulai membentuk jurang-jurang sungai. Pertambahan lebar jurang-jurang seperti ini bisa mencapai lebar 0,5 meter setiap tahunnya." Imbuhnya
Selain itu, Nur Sumedi mengatakan, dalam mengatasi erosi jurang pihaknya dihadapkan semakin sedikitnya Sumber Daya Manusia (SDM). Karena sudah banyak yang pensiun dan tidak ada pengangkatan pegawai baru.
"Dengan menggelar kegiatan alih teknologi penangan erosi jurang yang diikuti 38 peserta dari DAS di Indonesia. Harapannya para peserta menjadi kader yang bisa mengembangkan konsep pengendalian erosi di DAS masing-masing daerah," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Surakarta, Suratman, menambahkan, erosi jurang dan peningkatan sedimentasi sungai tidak terlepas dari tingginya lahan kritis di Indonesia.
"Saat ini masih terdapat 14 juta hektare lahan kritis di Indonesia. Namun, angka ini berkurang dari tahun-tahun sebelumnya yakni sekitar 24,3 juta hektare," bebernya.
Dirinya berharap, dengan penanganan tepat, lahan kritis di Indonesia bisa terus berkurang secara terarah dan berkelanjutan pada tahun 2019. (adr)
(wd)