Ekonomi & Bisnis

Gema Telur Dinilai Atasi Kelebihan Suplai Ayam

Ekonomi & Bisnis

12 September 2019 22:01 WIB

Toni Nainggolan, Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.

SOLO, solotrust.com - Terkait aksi bagi-bagi ayam gratis yang dilakukan sejumlah peternak ayam akibat anjloknya harga ayam di berbagai wilayah beberapa waktu lalu, Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Toni Nainggolan, menjelaskan bahwa pemerintah sudah berupaya untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dengan mencanangkan program Gerakan Makan (Gema) 100 Juta Telur mulai tanggal 2 September 2019. Program yang menyasar anak-anak sekolah tersebut dinilai dapat mengurangi jumlah suplai ayam yang sempat mengalami kelebihan yang mengakibatkan harga ayam di kandang rendah di kisaran Rp 8 ribuan - Rp 10 ribuan per ekor.

Baca: Gerakan Makan 100 Juta Telur



"Pemerintah dalam hal ini melihat mengapa (anjloknya harga ayam) selalu berulang ulang karena persoalan tidak hanya 1 tapi berkesinambungan. Terkait permintaan pinsar untuk memangkas 30 persen dari pembibitan ayam salah satunya bagi bagi 100 juta telur agar jangan jadi ayam, sudah oke," tuturnya pada awak media di sela pelaksanaan program Gema Telur di SD Djama'atul Ichwan Sondakan Laweyan Solo, Rabu (11/9/2019).

Menurutnya, saat ini berdasar data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) pada tanggal 10 September 2019 harga ayam di wilayah Jawa Tengah-DIY di kisaran Rp 15 ribuan - Rp 16 ribuan yang artinya harga sudah lumayan. Toni mengungkap, anjloknya harga ayam beberapa waktu sebelumnya disebabkan adanya distorsi pasar, sehingga harga ayam di kandang cuma Rp 8 ribuan - Rp 10 ribuan saja padahal harga di pasar bisa Rp 20 ribuan. Artinya permasalahan bukan di peternaknya melainkan ada logistik atau tata niaga yang tidak jalan.

Pihaknya mengakui persoalan tersebut setiap tahun terulang dan penyelesaian masalah masih parsial, tidak tuntas sepenuhnya. Ia mengharapkan keaktifan berbagai pihak dalam mengatasi persoalan gejolak harga ayam. Sebab tidak akan mungkin peternak kecil diadu dengan perusahaan integrator yang besar dengan kinerja lebih efisien. Pihaknya mengungkapkan bahwa peternak kecil sudah menjalin kerjasama agar berdaya saing. Toni juga mengingatkan agar perusahaan unggas yang kecil jangan terlalu ambil untung yang besar karena bukan eranya lagi. Konsumen akan senang bila harga murah sebab selisih uang bisa untuk membeli kebutuhan lain.

Selain itu, pihaknya menilai bahwa pembentukan klaster peternak ayam dapat berdampak pada efisiensi biaya produksi. Dengan membentuk kluster, para peternak berkumpul dan berhimpun dengan harapan penyediaan pakan bisa lebih murah. Terlebih kebutuhan pakan ternak mencapai hampir 70 persen dari biaya produksi. Harga jagung juga diharapkan jangan terlalu mahal. Namun sayangnya, terkendala produksi jagung dalam negeri yang belum mampu mengkaver kebutuhan para peternak. Bila dilakukan langkah impor jagung, giliran petani jagung yang tidak menyetujui.

"Memang tidak bisa parsial, jadi permasalahan ternak jangan cuma dilihat dari ternaknya. Semua harus diseimbangkan artinya petani jagung boleh dapat untung, peternak boleh dapat untung tapi jangan terlalu tinggi. Ini rantai,"

Selain itu, untuk mengatasi tingkat kematian ayam agar lebih rendah, pihaknya mengharapkan penerapan sistem close house atau tertutup karena saat ini para peternak masih menggunakan sistem terbuka. Namun sayangnya, sistem tertutup masih belum diterapkan sepenuhnya karena para peternak terkendala biaya. (rum)

(wd)