Entertainment

Film Kodok Rabi Peri, Cara Seniman Prihatin Rusaknya Alam

Musik & Film

14 November 2019 20:05 WIB

Pemutaran perdana film Kodok Rabi Peri, Rumah Banjarsari Solo

SOLO, solotrust.com - Upaya pelestarian alam dan budaya dapat menjadi sesuatu yang unik, bahkan kontroversial bila dilakukan seniman kreatif. Publik tentu masih ingat dengan peristiwa menggemparkan pada 8 Oktober 2014 silam di mana seorang pria yang disebut Mbah Kodok dikabarkan melakukan perkawinan magis dengan peri penunggu Hutan Begal di Ngawi, konon bernama Setyowati. 

Mbah Kodok bernama asli Purwoto Mangun Baskoro lahir di Purwosari, Solo pada 1951. Akibat pernikahan yang tidak biasa ini, ia menjadi topik pembicaraan tidak hanya di dunia nyata, namun di dunia maya. Meski menimbulkan kontroversi, namun peristiwa itu terjadi tak lepas dari keterlibatan seniman, budayawan, dan masyarakat. Mulai dari diadakannya happening art hingga upaya konservasi.



Selang berapa tahun setelah peristiwa itu, sutradara Bani Nasution memproduksi karya film dokumenter "Kodok Rabi Peri (The Invisible Wife)". Film yang digarap sejak 2014 ini tak sekadar menyajikan kontroversi pernikahan tak lazim, namun menunjukkan pada penonton upaya Mbah Kodok dan rekan-rekannya dalam mencintai alam dan kebudayaan.

Sutradara film, Bani Nasution menjelaskan, konteks film ini bukan fokus sekadar pada mistisme dalam budaya Jawa, namun bermula dari pascakerusuhan 1998 yang berdampak ke hutan, dituangkan di narasi awal film. Saat kerusuhan menuntut Presiden Soeharto turun, penguasa masuk hutan dan menebang hampir semua pohon jati tua yang berakibat hutannya mangkrak. 

Di Jawa, punya kepercayaan makhluk halus yang mendiami alam khususnya hutan. Mbah Kodok punya mimpi kawin dengan peri penunggu hutan, meski menimbulkan interpretasi macam-macam di masyarakat yang lebih banyak mengarah mistis. Justru film ini memberi penjelasan secara ilmiah bahwa kebudayaan Jawa yang punya kepercayaan kepada penunggu alam. 

"Ketika ditanya bagaimana cara merawat alam, saya bikin pesan merawat alam dengan merawat kebudayaan. Sebenarnya saya sedang tidak melawan, tapi memberi penjelasan menyeluruh bahwa hubungan antara alam dan manusia punya kisah cinta sendiri. Kisah cinta tidak harus selalu laki-laki dan perempuan, tapi di film ini kisah cinta yang ditampilkan antara manusia dengan alam," paparnya usai pemutaran perdana, Rabu (13/11/2019).

Istimewanya, film ini nantinya akan diputar premier di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) pada 23 November 2019. Film rencananya juga diputar di Griffith University Brisbane Australia pada 18 November 2019. Namun, pihaknya ingin memutar lebih dulu di tanah kelahirannya, Kota Solo sebelum dinikmati audiens nasional dan internasional. Hal itu lantaran film ini diinisiasi di Kota Solo, bahkan orang-orang yang terlibat di dalamnya dan ceritanya juga. 

Proses pembuatan film ini cukup berliku. Pengambilan gambar dimulai pada 2015 dan baru selesai 2017. Butuh proses dua tahun karena untuk menjadikan satu rangkaian harus menunggu momen para pelaku di dalam film ini. Kemudian membutuhkan proses editing selama dua tahun dari 2018-2019. Video berkolaborasi dengan Kraton Ngiyom dan Supertramp Photography yang melibatkan sembilan kameramen dan satu fotografer. 

Kodok Rabi Peri ini menjadi film dokumenter ketiga yang digarap Bani. Sebelumnya, ia sudah membuat film dokumenter berjudul "Sepanjang Jalan Satu Arah" mengusung tentang politik agama di Solo yang berhasil memenangkan Akatara dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Film dokumenter keduanya mengisahkan tentang desa perbatasan di Jerman dengan judul Neutrale Strasse

(redaksi)