Solotrust.com - Lampu menyala temaram saat sesosok tubuh datang menyeret beberapa buah peti dengan tali dilingkarkan di pundaknya. Kala lampu mulai agak terang menyorot, terlihat sosok itu berupa celeng. Namun, celeng itu hanya kepalanya saja, sedangkan tubuhnya tetaplah seorang manusia berkelamin pria.
Celeng itu membawa bola, seolah menggambarkan bola dunia. Celeng lantas bergerak dengan liar diiringi suara khasnya. Itulah perwujudan Dewa Wisnu berpura-pura menyamar menjadi seekor celeng, kemudian bersama Dewi Pertiwi melahirkan seorang Bhoma.
Bhoma yang kelak tumbuh menjadi raksasa, akhirnya harus meregang nyawa dibunuh ayahandanya tercinta. Bhoma tidak turut dibangkitkan oleh ayahnya dan kemudian memilih menjadi pelindung bumi.
Sebuah pertunjukan apik disajikan aktor muda dari Yogyakarta, Jamaluddin Latif dalam acara bertajuk Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2019 di dalam Gereja Ayam Bukit Rhema Borobudur, Jawa Tengah, Jumat (22/11/2019) dengan judul Babad Bhoma. Jamaluddin
Latif menjadi salah satu penampil di hari kedua acara BWCF 2019 itu. Jamal, panggilan akrabnya dengan tangkas memainkan segala properti pementasan yang ada pada dirinya saat itu yang berupa topeng, kotak peti, boneka hingga bola besar. Tanpa kesulitan, properti-properti itu satu per satu dimainkan dengan cakap.
Dalam memainkan monolog Babad Bhoma malam itu terlihat ketahanan fisik Jamal begitu terjaga. Sebab dalam monolog, Jamal dituntut melakukan berbagai gerakan mulai dari merangkak, merayap, berlari, menyeret peti, dan paling penting melakukan dialog serta menyuarakan suara mirip celeng dengan konsisten dan intens serta tidak terlihat kedodoran.
Sayangnya, pencahayaan dalam pementasan kemarin cenderung menganggu mata penonton. Pun demikian dengan pencahayaan terhadap sosok Bhoma yang terlalu tajam. Jamal sendiri ketika dihubungi solotrust.com lewat aplikasi WhatsApp tertarik mementaskan monolog Babad Bhoma lantaran punya kekuatan luar biasa.
“Bhoma kan wujudnya adalah raksasa, semacam bhutakala, musuh manusia dan para dewa. Ini menarik karena Bhoma sendiri artinya putra bumi, tapi dia di posisi antagonis dan punya kekuatan yang biasa. Itu yang menarik,” ungkap dia.
Jamal melanjutkan, kisah Bhoma jarang diangkat dalam pewayangan Jawa. Selain itu, kisah kematian Bhoma di tangan ayahandanya juga sangat menggelitik. Ayah dan anak saat itu berada dalam posisi abu-abu. Wisnu yang sering diasumsikan sebagai dewa penuh kemuliaan, namun juga mempunyai sisi jahat, sedangkan Bhoma yang raksasa jahat juga diagungkan menjadi pelindung bumi. (dd)
(redaksi)