Solotrust.com- Polemik tentang larangan daging anjing yang diperjualbelikan di warung-warung pinggir jalan Kota Solo sempat menuai Polemik pada minggu-minggu lalu. Imbauan Gubernur Jawa Tengah kepada para kepala daerah yang melarang adanya tempat yang menjual masakan daging anjing masih disikapi beragam oleh beberapa kepala daerah.
Meskipun demikian akan cukup menarik apabila menilik sejarah awal mula merebaknya masakan daging anjing yang di kota Solo dan lebih dikenal dengan sate jamu atau rica-rica guk-guk.
Heri Priyatmoko sejarawan yang tinggal di kota Solo, ketika dihubungi Solotrust.com lewat telepon Rabu (11/12/2019) menceritakan tentang sejarah sate jamu di kota Solo.
“Adanya makanan yang menggunakan daging anjing sebagai bahan olahan, pada mulanya ada saat kaum abangan masih banyak dan sebelum masuk pada periode Islamisasi.“ ucapnya menerangkan.
Heri kemudian menambahkan, kalau ditarik garis lebih jauh lagi pada periode Majapahit, menurut serat Nagarakartagama, hidangan daging anjing sudah disajikan saat para raja mengadakan pesta pora. Para kalangan istana saat itu sudah sangat menyukai daging anjing untuk dijadikan hidangan.
Pada zaman tersebut, populasi anjing sangat banyak sekali. Anjing-anjing liar sering berkeliaran di jalanan. Maka, salah satu cara untuk membendung populasi banyaknya anjing-anjing liar tersebut dengan cara dilakukan pengolahan untuk bahan makanan.
Selain dijadikan bahan olahan makanan, cara lain untuk mengurangi merebaknya populasi anjing ialah dengan cara mengebiri anjing-anjing yang ada. Heri juga menjelaskan saat itu masih belum ada komunitas-komunitas pecinta binatang seperti saat ini.
Lalu kemudian olahan daging anjing mulai ada di solo juga dibarengi dengan makin lestarinya budaya omben-omben (minum-minum -red) yang sering dilakukan di kota Solo. Budaya omben-omben ini ada karena di salah satu sudut kota Solo terdapat olahan pabrik-pabrik rumahan minuman keras di daerah Bekonang. Saat itu banyak orang yang menggunakan trambul daging anjing untuk menemani omben-omben. Dan hal tersebut ada hingga sekarang ini.
Selain karena belum masuk era Islamisasi, mulai merebaknya olahan daging anjing juga dikarenakan cukup banyaknya komunitas-komunitas Tionghoa yang menggunakan daging anjing sebagai olahan bahan makanannya.
Pada era sebelum Islamisasi masuk cukup dikenal masakan dengan olahan anjing, bahkan ada petugas-petugas yang ditugaskan untuk menjala anjing-anjing liar. Beragam cara dilakukan untuk menyembelih anjing dari cara bisa yang langsung disembelih lehernya sampai yang dimasukan ke karung dan ditenggelamkan dalam air atau sungai.
Mitos yang merebak di masyarakat luas yang menyatakan bahwa anjing juga bisa digunakan sebagai obat, terutama untuk obat kuat juga perlu dibuktikan atau dicek di laborat lebih jauh lagi, sebab saat itu hanya perkiraan saja dan belum ada penelitian lebih mendalam lagi.
Setelah masuk era Islamisasi tingkat konsumsi masyarakat untuk makan daging anjing mulai menurun, meskipun juga masih ada hingga sekarang. (dd)
(wd)