JAKARTA, solotrust.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengubah sejumlah aturan ketetapan produk halal sejalan dengan penerapan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Omnibus Law diketahui turut melakukan sejumlah perubahan yang cukup signifikan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 (UU JPH) mengenai Jaminan Produk Halal yang menyebut perusahaan kini diwajibkan untuk memperpanjang masa berlaku ketetapan halal tersebut dalam masa 4 tahun sekali.
Padahal menurut aturan sebelumnya suatu ketetapan halal yang dikeluarkan oleh MUI hanya berlaku untuk masa 2 hingga 3 tahun saja. Setelah masa berlaku habis, nantinya, perusahaan akan diminta melakukan audit dan pemeriksaan kembali dari status halal produknya.
"Terkait dengan perubahan tata kelola penetapan kehalalan produk, keputusan fatwa produk itu diperbarui berdasarkan dengan hasil audit perpanjangan sesuai dengan regulasi yang berlaku, berlaku setiap 4 tahun sekali," ujar Niam dalam Acara Silaturahmi LPPOM MUI dan perusahaan bersertifikat MUI, Senin (31/5).
Fatwa halal menjadi salah satu tolok ukur penting dalam menentukan latak tidaknya suatu produk yang dikonsumsi khususnya untuk umat muslim.
"Kalau terkait dengan fatwa, karena dia terminologi dan juga kidung keagamaan maka penyelesaiannya dan juga lembaga yang menetapkan itu adalah ajeg, tidak berubah baik sebelum maupun setelah undang-undang jaminan produk halal," ucap Niam.
Karena fatwa pada hakikatnya merupakan penetapan kepatutan sesuai unsur keagamaan, sehingga penetapan kehalalan suatu produk itu terlebih dulu harus didahului proses auditing dengan pemeriksaan oleh MUI.
Proses pemeriksaan halal tidaknya suatu produk dilakukan dengan menggunakan standar yang juga telah ditetapkan oleh fatwa MUI. Sehingga keluaran dari MUI yang pertama adalah fatwa terkait dengan standar halal yang di atas standar inilah kemudian proses auditing, proses produksi, dan juga proses pengukuran.
Yang kedua adalah fatwa terkait dengan produk. Perlu dipahami oleh seluruh pelaku usaha pengembangan produk halal itu meniscayakan adanya suatu proses pemeriksaan produk sebelum nantinya dapat beredar luas.
Oleh karena itu sebelum menciptakan suatu produk, kata Niam, penting untuk melakukan pemeriksaan apakah produk itu berguna, berkhasiat, serta halal statusnya untuk dikonsumsi atau digunakan.
"Adanya penyesuaian dengan dua aspek ini sekaligus ya yang pertama adalah aspek standar yang kemudian nanti mengejawantah di dalam bentuk sistem jaminan halal atau sistem jaminan produk halal dan karenanya ketika kita hendak mengembangkan produk halal harus direncanakan sejak awal, sejak proses riset dan development dengan menginventarisir serta memedomani sistem jaminan produk halal yang ada," tutupnya.
(zend)