Pend & Budaya

Tanamkan Budi Pekerti saat Pembelajaran Daring, Sekolah Butuh Wali Asuh

Pend & Budaya

15 Juni 2021 20:59 WIB

Penanaman karakter berupa mencium tangan guru biasa dilakukan sebelum pandemi (Dok. Istimewa)

SOLO, solotrust.com – Sekolah bukan sekadar tempat untuk meningkatkan capaian akademis. Penanaman nilai moral juga menjadi aspek penting dalam pembelajaran.

Semenjak pandemi Covid-19, proses pembelajaran mengalami perubahan dari tatap muka langsung menjadi sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui media online alias dalam jaringan (Daring). Dengan segala keterbatasan yang ada, proses pembelajaran menjadi kurang maksimal.



Dosen Pengantar Psikologi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS), Mahardika Supratiwi menjelaskan, siswa dari berbagai jenjang mengalami beberapa kendala, seperti capaian pembelajaran, pemahaman, ataupun wawasan yang kurang lengkap.

“Contohnya saat siswa diberi materi energi. Anak yang kurang pendampingan ini pengetahuannya tidak komplet, tidak utuh. Pengetahuannya akan berbeda seperti dibanding saat pembelajaran tatap muka,” terangnya, saat dihubungi melalui aplikasi pesan, Selasa (15/06/2021).

Selain itu, pembiasaan, pembentukan karakter dan budi pekerti juga berbeda. Pembiasaan-pembiasaan seperti berangkat tepat waktu, cium tangan guru, dan menyapa teman-teman yang merupakan akar pembentukan karakter menjadi berkurang.

“Saat pembelajaran daring dari rumah, siswa lebih santai. Misalnya saat video conference yang mewajibkan siswa mengaktifkan kamera. Bisa saja mereka hanya menggunakan atasan seragam tapi bawahan pakai kolor. Kadang ada juga tugas yang malah dikerjakan orang tua, yang penting tugasnya selesai,” tambahnya.

Lebih jauh Mahardika Supratiwi mengutarakan, dalam upaya menanamkan budi pekerti pada siswa diperlukan pemantauan intensif. Salah satunya dengan membentuk wali asuh yang memantau siswa dalam kelompok kecil.

“Wali asuh itu bisa diambil dari guru mata pelajaran yang tidak bertugas menjadi wali kelas. Wali asuh bertugas untuk melakukan pembinaan atau memotivasi para siswa. Selain itu juga memantau perkembangan karakter dan permasalahan yang dialami siswa. Mereka bisa menyelenggarakan Zoom seminggu sekali, cukup satu atau dua jam saja. Dari situ wali asuh bisa mengetahui perkembangan siswa,” paparnya.

Menurut Mahardika Supratiwi, pembentukan karakter anak sejatinya ada pada keluarga, bukan sekolah.

“Lembaga utama yang membentuk dan mencetak karakter anak itu sebenarnya keluarga, bukan sekolah. Sehingga guru di sekolah menjadi fasilitator setelah orangtuanya. Orangtua jadi sosok yang sangat penting,” pungkasnya.

Di lain pihak, Guru Bimbingan Konseling (BK) SMP IT Nur Hidayah Solo, Baqiyyatush Sholihah, mengaku siswanya juga mengalami dampak dari penerapan pembelajaran jarak jauh.

“Beberapa jadi berubah. Dari yang dulunya periang, sekarang jadi pendiam dan diajak ngobrol nggak nyambung. Saat remaja kan inginnya mengeksplorasi banyak hal, tapi malah kondisi ini jadi dibatasi,” ujar Baqi, saat ditemui di kantornya, Selasa (15/06/2021).

Baqi menjelaskan, upaya yang dilakukan sekolah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengadakan program Penanaman Adab (PA) dan Bina Pribadi Islam (BPI). Dalam program ini, siswa dibagi dalam kelompok kecil beranggotakan sembilan hingga sepuluh anak. Masing-masing kelompok diampu satu guru yang akan memantau perkembangan tiap anak.

“Penanaman adab itu mulai dari jam setengah delapan sampai jam delapan. Tujuannya untuk mengkondisikan si anak ini jam segitu udah siap mengikuti KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) atau belum. Indikasinya bisa dilihat dari situ. PA dijadikan pemantau akademik dan akhlak,” jelasnya.

Adapun untuk BPI sendiri hampir sama dengan PA, namun materi yang disampaikan lebih mendalam dan dilaksanakan sepekan sekali. Materi yang disampaikan saat BPI meliputi adab, penguasaan ilmu, wawasan islami, komitmen ibadah, dan lain-lain.

Baik Baqi maupun Mahardika meyakini, kolaborasi berbagai pihak sangat diperlukan demi proses pembelajaran optimal. (Azmi/Azizah)

(redaksi)