BOYOLALI, solotrust.com - Selama pasokan oksigen industri terhenti saat gelombang dua Covid-19, produksi industri kerajinan tembaga Tumang, Cepogo, Boyolali menurun dratis. Selain karena kelangkaan oksigen, harga bahan baku juga mulai naik yang melambung. Akibatnya, produksi kerajinan tembaga per Juli ini berhenti.
Sekretaris Muda Tama Gallery 2, Kupo, Tumang Cepogo, Aji Prasetyo mengatakan, produksi tembaga berhenti hampir sebulan. Kelangkaan oksigen ditengarai hal yang membuat industri kelabakan. Padahal, oksien digunakan perajin untuk proses pengelasan tembaga.
"Kami sulit mendapatkan tabung oksigen yang digunakan untuk pengelasan. Sebenarnya sudah ada pasokan khusus dari perusahaan oksigen untuk perajin tembaga Tumang. Namun, ada penarikan oksigen pada awal Juli 2021," terangnya kepada wartawan, Rabu(28/7/2021).
Menurutnya, penarikan oksigen ini tak hanya terjadi ke pemasok saja, namun juga tabung gas oksigen milik perajin. Sebab saat ini tabung oksigen diprioritaskan untuk penanganan Covid-19.
"Kendala dari awal juga bahan baku dari Maret sampai bulan ini harganya naik terus sampai 50 persen. Normalnya bahan baku perlembar dengan ukuran 1x2 meter seharga Rp 1,8 juta. Sekarang naik menjadi Rp 3,5 juta. Saya juga kaget bahan baku hampir setiap hari naik terus. Padahal penjualan sedang susah," terangnya.
Kelangkaan oksigen dan bahan baku, lanjut dia, membuat harga kerajinan tembaga naik sekitar 25 persen. Pembeli kerajinan tembaga juga sepi, lantaran kebanyakan pembeli dari luar kota dan ekspor. Kini para perajin hanya mengandalkan pembeli lokal Solo Raya dan pemasaran secara online.
"Kami sangat terdampak. Penjualan juga sulit karena tidak bisa ekspor. Jadi selama PPKM ini hanya mengandalkan pembeli lokal saja. Padahal sebelum pandemi, setiap minggu dan tiap bulan pasti kirim ekspor," katanya.
Hal senada dirasakan perajin Nuansa Gallery, Mamik Sri Ningsih. Dirinya pernah ditawari satu tabung gas seharga Rp 350 - Rp 500 ribu. Padahal normalnya dia bisa membeli dengan harga Rp 80 ribu pertabung.
"Susahnya oksigen berdampak besar sekali bagi kami. Karena proses penyambungan, kami menggunakan las yakni perpaduan oksigen dan asitilin. Harga oksigen dari Rp 80 ribu/tabung naik sampai 4 kali lipat. Saya malah ditawari dan diminta bayar Rp 500 ribu/tabung," ungkapnya.
Ia memilih berhenti produksi sementara. Namun, jika terpaksa dia akan berkeliling mencari perajin lain yang masih memiliki stok oksigen.
"Kerajinanya belum tentu bisa naik harganya. Saya masih jual kisaran Rp 60 ribu sampai jutaan rupiah. Saat ini penjualannya kalau tidak pakai diskon susah lakunya. Ekspor ke luar negeri juga macet,"pungkasnya. (jaka)
(wd)