SOLO, solotrust.com – Saipul Jamil kembali menjadi buah bibir di masyarakat. Selepas menyelesaikan masa tahanannya akibat kasus asusila, mantan suami Dewi Persik itu disambut euforia oleh sejumlah penggemarnya.
Bahkan Saipul Jamil sempat diundang di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Sontak hal tersebut menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Selain komentar tidak suka dan nyinyiran dari netizen, terbaru petisi pemboikotan Saipul Jamil kabarnya hampir tembus 500 ribu tanda tangan.
Menanggapi hal itu, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Argyo Demartoto mengatakan terlepas dari kasus yang pernah menjeratnya, Saipul Jamil tetaplah seorang artis yang memiliki penggemar. Pembebasan setelah menjalani 5 Tahun masa tahanan, tentu menarik perhatian publik dan dimanfaatkan berbagai pihak sebagai kepentingan bisnis.
“Saipul Jamil kan artis, publik figur dia fansnya banyak. Dia itu punya selling point yang bisa meningkatkan income generate, mungkin sebuah televisi kemudian juga beberapa perusahaan komersial. Makanya tidak heran ada beberapa kelompok fans dari Saipul Jamil atau dari institusi penyiaran tertentu itu melakukan glorifikasi atau euphoria yang berlebihan kepada Saipul Jamil,” ujar Argyo pada Solotrust.com Selasa (7/9).
Lebih lanjut Argyo mengatakan masyarakat tidak dibenarkan untuk memberi stigma negatif bagi mantan narapidana yang telah menjalani masa hukumannnya dalam hal ini Saipul Jamil. Namun disisi lain perasaan korban dan pihak yang dirugikan juga tetap harus diperhatikan.
“Kita dihadapkan pada dua hal yang dilematis ada yang pro dan kontra. Kita tidak boleh melakukan atau memberi stigma negatif maupun perlakuan diskriminatif kepada orang yang telah menjalani hukuman. Ini yang terjadi di masyarakat kita,” ujar Argyo.
“Disatu sisi memang kita harus menghormati keluarga atau pihak yang menjadi korban sehingga tidak trauma dan mengingat kembali. Ini kompleks,” tambahnya.
Argyo menambahkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peranan krusial dalam penyelesaian masalah ini. Menurutnya KPI memiliki kekuatan untuk mengatur tontonan seperti apa yang pantas disajikan untuk masyarakat.
“KPI punya hak untuk menegur, memperingatkan sebuah lembaga penyiaran karena kita harus menghormati etika, kepatutan publik misalnya terhadap kasus-kasus tertentu," ungkap Argyo.
Sementara itu Dosen Ilmu Komunikasi UNS, Monika Sri Yuliarti menekankan, dengan masih munculnya Saipul Jamil di ranah pertelevisian dikhawatirkan perbuatan melanggar hukum Saipul Jamil menjadi suatu hal yang dimaklumi di masyarakat.
“Saya takutnya, orang-orang, para penonton televisi, malah menganggap bahwa (kasus) penyebab Saipul Jamil masuk penjara (dianggap) menjadi sesuatu yang dimaklumi,” ujar Monika pada keterangan yang tayang pada Instagram Najwa Shihab @najwashihab Minggu (5/9).
Monika menambahkan dirinya khawatir masyarakat mengalami penurunan kepekaan akan kejahatan kekerasan seksual. Masyarakat akan tidak merasa bersalah jika melihat tindakan yang melanggar hukum tersebut.
“Orang-orang takutnya nanti ada semacam desensivitas dari kita. Jadi orang sudah enggak merasa malu lagi kalau kita melakukan kekerasan seksual misalnya. Orang enggak merasa salah kalau melihat (pelaku) kekerasan seksual,” tambah Monika. (rois)
(zend)