SOLO, solotrust.com – Masyarakat tengah dibuat khawatir dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) telah dirilis Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada Jumat (11/2).
Peraturan baru ini menyebutkan bahwa peserta BPJS Ketenagakerjaan baru dapat mengambil JHT setelah mereka memasuki masa pensiun yakni berumur 56 tahun, kecuali meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap.
Hal ini menuai banyak penolakan, terutama bagi para buruh di Indonesia. Salah satunya Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ’92 Kota Solo, Endang Setyowati yang turut angkat bicara. Ia menilai pemerintah Indonesia tidak tepat mengeluarkan peraturan ini pada kondisi perekonomian sekarang.
Pihaknya mengira terdapat kejanggalan dalam pengeluaran peraturan ini di tengah Jaminan Kehilangan Kerja (JKP) belum seluruhnya diterima oleh para buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Sebenarnya kita sudah prediksi lama. Kami sudah keluarkan beberapa plan untuk para tenaga kerja yang mengalami PHK. Janggalnya, mereka dijanjikan mendapatkan JKP (Jaminan Kehilangan Kerja) setelah enam bulan di PHK, tetapi belum enam bulan sudah ada peraturan baru ini. Ini jadi pertanyaan kita. Sekarang UU cipta kerja dua tahun lalu masih prematur, kenapa peraturan ini tiba-tiba keluar pada saat seperti ini? ” katanya.
Melihat kesejahteraan buruh saat ini, Endang menganggap bahwa pemerintah belum memikirkan secara matang mengenai kesejahteraan buruh. Hal ini dapat dinilai dari jumlah pendapatan buruh yang telah diputuskan dalam Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Jika bicara kesejahteraan buruh, bukan hanya upahnya yang kurang. Buruh saat ini sudah tidak berdaya. Sudah dikebiri. Apalagi jaminannya yang katanya sudah bisa cair tetapi malah dipersulit. Mengenai upah yang sudah diputuskan gubernur, karena di dalam turunan UU Cipta Kerja dalam PP no.36 tidak menggunakan survei data komponen realistis yang dipakai kebutuhan buruh. Tetapi menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS),” tambahnya.
Sebagai langkah untuk para buruh, SBSI ’92 Kota Solo akan melakukan upaya pergerakan, agar peraturan ini dapat ditinjau ulang oleh pemerintah Indonesia.
“Pemulihan ekonomi yang diharapkan dari pemerintah yang cukup signifikan dengan kondisi yang saat ini, menurut kita imposible. Prinsipnya kita menolak. Kita akan membuat gerakan, melakukan audiensi dengan pihak dari BPJS ketenagakerjaan. Atau kalau ini dinilai sangat urgent, akan kita boikot,”pungkas Endang.
Di sisi lain, Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS), Addin Kurnia Putri mengatakan untuk mendapatkan penilaiannya mengenai dampak perekonomian yang akan dituai masyarakat, terutama para buruh. Ia menilai bahwa pemerintah harus mengkaji ulang mengenai jangka panjang kesejahteraan buruh melalui JHT.
“Jaminan ini diberikan untuk bisa menjamin kesejahteraan buruh ketika sudah berada di usia tidak lagi produktif. Jadi ini memang maksudnya untuk jangka Panjang. Kalau ada pertimbangan karena JHT diambil terlalu dini ketika pekerja masih berada di usia produktif, sehingga tidak sesuai dengan tujuan dari JHT untuk menjamin hari tua, hal ini harus dikaji secara mendalam tidak saja secara ekonomi tapi juga kondisi sosial budaya dari pekerja,” terangnya.
Ia juga menambahkan, di tengah kondisi perekonomian masyarakat Indonesia saat ini dengan pemerintah perlu mengkaji ulang Permenaker. Apabila tidak dilakukan, maka perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia akan bertambah buruk.
“Jika suara buruh seperti ini tidak didengar, sudah pasti pemerintah akan kehilangan kepercayaan publik,” tukasnya. (riz)
(zend)