Pend & Budaya

Memanfaatkan Pranataya sebagai Pintu Membuka Energi Gerak Ketubuhan

Pend & Budaya

13 Maret 2022 23:43 WIB

Wahyu SP (kiri) ditemani Sugeng Yeah (kanan) dalam Pengajian Artistik Sukra Manis 8 di Sanggar Pasinaon Pelangi Mojosongo, Jumat (11/03/2022)

SOLO, solotrust.com - Di tengah hujan mengguyur Kota Solo pada Jumat (11/03/2022), Sanggar Pasinaon Pelangi Mojosongo menghadirkan kembali Pengajian Artistik Sukra Manis 8 di sanggar setempat. Acara mengangkat tema Menyelami Diri Membuka Pintu Energi.

Hadir sebagai teman berbagi kali ini salah satu maestro tari Kota Solo, Wahyu Santosa Prabowo atau akrab disapa Wahyu SP ditemani Sugeng Yeah.



"Segala sesuatu ada yang menciptakan, maka muncul istilah taya," ucap Wahyu SP.

"Taya itu adalah kosong, awang uwung, ada tapi tak berwujud," jelasnya.

Ditambahkan, pada akhirnya muncul istilah mataya, langen mataya hingga pranataya.

Para empu tari pada zaman dahulu berupaya mencapai kekosongan ketika menari. Akhirnya terjadi penyatuan dengan Tuhan atau di Kawa dikenal dengan istilah manunggaling kawula lan Gusti.

Proses untuk mencapai tataran itu dimulai dengan pranataya yang erat kaitannya dengan pencapaian ketubuhan. Pranataya sendiri ialah memanfaatkan energi murni manusia, letaknya berada di titik bawah pusar atau sering disebut solar plexus.

"Proses pranataya ialah menyalurkan energi murni ke segala tubuh lewat pernapasan diafragma," jelas dosen tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Wahyu SP mengungkapkan manfaat pranataya dirasakan orang yang mencoba untuk melatihnya. Itu berguna tidak hanya kepada penari saja, namun.juga disiplin ilmu seni lainnya seperti seni peran dalam teater atau film.

"Tubuh bisa menjadi cerdas dan hadir di dalam ruang," ucapnya.

Lebih jauh dikatakan, di dalam diri manusia adanèt, krètèg, dan karèp. Ketiganya bisa diolah dan diasah terus menerus. Jika ketiganya bisa ditampilkan akan mampu menghadirkan daya spiritual tinggi dan bisa menghipnotis penonton lewat gerakan tubuh.

"Maka dari itu semua akhirnya muncul istilah urip hanguripi, yakni dari ketubuhan mampu berbagi nilai, berbagi makna kepada manusia lain," tutur Wahyu SP.

Di dalam dunia tari ada tataran atau tingkatan penyebutannya seperti joget, beksa, dan mataya.

"Joget ialah menari untuk menggarap persoalan jagad. Nilai-nilai tentang kehidupan, sedangkan beksa, yakni tataran untuk pencapaian pendalaman. Mataya adalah pencapaian dari penjelajahan spiritual sehingga manusia mampu mencapai keilahian," papar Wahyu SP.

Konsep ketuhanan dalam berkarya merupakan pegangan para empu zaman terdahulu ketika menghasilkan karya seni yang nantinya dibagikan kepada penonton. Alhasil, seorang seniman tak bisa dipandang sebelah mata atau untuk main-main.

"Berkesenian itu sebenarnya bukan remeh-remeh karena berbagi nilai kehidupan dengan orang lain," terang Wahyu SP.

Pihaknya lebih setuju jika seni untuk kehidupan atau orang lain, bukan untuk diri sendiri.

"Seni untuk kehidupan dan peradaban manusia," tutupnya. (dd)

(and_)