Ekonomi & Bisnis

Harga Kedelai Bertengger Rp13 Ribu/Kg, Perajin Kurangi Ukuran Tahu Tempe dan Karyawan

Ekonomi & Bisnis

14 Oktober 2022 10:21 WIB

Produksi tempe di dukuh Krajan, Mojosongo. (Foto: Dok. Solotrust.com/ibn)

SOLO, solotrust.com – Komoditas kedelai impor belakangan harganya melejit menembus angka Rp13 ribu /kilogram (kg). Kenaikan harga ini membuat para perajin tahu dan tempe harus memutar otak agar usaha mereka tetap berjalan meski bahan baku sangat mahal, dari menjual rugi hingga pengurangan karyawan.

Salah satu perajin tahu tempe di dukuh Krajan, Mojosongo Solo, Sunardi (72) mengungkapkan ia mencoba berbagai cara agar tetap memperoleh untung meski sedikit. Ia menilai harga bahan baku kedelai dan produk jadi tahu tempe tidak berimbang.



“Harga kedelai terlalu mahal, tahunya itu dijual nggak laku, dinaikkan nggak mau, dipotong bentuknya juga nggak mau, tapi habis ini saya mau nyoba ditipisin, lha harga kedelai sama harga penjualan tahu itu sudah nggak imbang,” ujar Sunardi pada Solotrust.com, Kamis ( 13/10).

Dirinya menyebut kenaikan harga kedelai terjadi secara bertahap dengan nilai yang cukup tinggi. Ia tak menampik terkadang ada penurunan harga kedelai meski hanya hitungan puluhan rupiah saja per kilogramnya.

“Dan sekarang, harga kedelai merangkak terus tiap hari, nanti kalau turun itu Rp25 (selama) dua hari, tiga hari naik lagi, turunya paling banyak itu Rp25, tapi kalau naik langsung Rp200, Rp150, itu terus sehari pernah tiga kali, sampai harga kedelai sekarang jadi Rp13 ribu,” kata dia.

Menurutnya kenaikan harga kedelai impor ini karena tidak adanya persaingan dari negara-negara lain. Sehingga para perajin tidak memiliki pilihan dan perbandingan harga di pasaran.

“Kalau saya itu minta kalau ada kedelai dari berbagai negara saingane ada, lha ini nggak ada saingane kok, kerja itu kalau ngga ada saingane itu kedelai tetep, alaah semene tetep payu mundak eneh tetep payu (harga segini saja laku, naik lagi juga pasti tetap laku-red), tapi kalau ada sainganya harga naik yang ini nggak naik ya tetep pindah yang beli,” tambahnya.

Meski demikian usaha produksi tahu tempe Sunardi harus tetap dijalankan meski harus mengurangi ukuran ataupun efisiensi tenaga kerja untuk memperkecil potensi kerugian.

“kalau ibaratnya itu kalau orang penyakit itu mati nggak hidup nggak jadi masih tetap berjalan, ya nanti caranya gimana terus aja ini diakalin dengan di tenagai sendiri, ini kalau tenaganya orang lain satu rebusan itu ongkosnya Rp10 ribu,” imbuhnya.

Dirinya berharap pemerintah kembali menggulirkan subsidi kedelai impor sehingga harganya lebih stabil. Sebab tahu dan tempe menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia sehari-hari.

Hal serupa juga diungkapkan perajin tahu tempe lainya Mutinem (42) yang menyebut harga kedelai impor sekarang terlalu mahal dan menghimpit orang kecil.

“Terkendala sekali, karena kenaikanya itu menghimpit orang kecil, dulu harga kedelai Rp6 ribu/kg, Rp8 ribu, itu terus naik jadi Rp10 ribu sekarang jadi Rp13 ribu lebih,” sebut Mutinem.

Kendati demikian Mutinem tidak menaikan harga jual tahu dan tempe produksinya namun mengurangi ukuran dan porsi. Ia mengaku kerap menerima komplain dari konsumen akan ukuran tahu tempe yang makin mengecil.

“ya kompain, komplain mas, tapi kan lama-lama nggak mas kadang pelanggan ngomong ‘kok sekarang kecil kecil mba’, iya, harga kedelainya naik tapi jualnya tetep,” tandasnya. (ibn)

(zend)