JAKARTA, solotrust.com - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol. Menurut dia, kencangnya laju perubahan iklim berdampak pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen menurun hingga gagal tanam.
"Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat Celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi," ungkap Dwikorita Karnawati dalam Focus Group Discussion (FGD) Perhimpunan Agronomi Indonesia di Jakarta, Kamis (06/07/2023), dilansir dari laman resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, bmkg.go.id.
Pihaknya menambahkan, bencana kelaparan sebagaimana diprediksi Organisasi Pangan Dunia FAO akan terjadi pada 2050 adalah ancaman nyata. Situasi ini bukan hanya menjadi ancaman bagi Indonesia atau terbatas negara-negara berkembang saja, melainkan seluruh negara di dunia menghadapi ancaman sama jika tidak ada langkah konkret untuk mengatasi krisis iklim.
"Tahun 2050 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan menembus angka 10 miliar. Jika ketahanan pangan negara-negara di dunia lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan yang terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim," beber Dwikorita Karnawati .
Lebih lanjut ia mengutarakan, tidak sedikit orang beranggapan ancaman perubahan iklim dan krisis pangan belum terlalu terlihat di Indonesia karena ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.
Terlepas dari itu, jika situasi iklim global saat ini tidak direspons secara serius, Indonesia bisa terlambat untuk mengantisipasi bencana kelaparan pada 2050. Ketahanan pangan nasional Indonesia, kata Dwikorita Karnawati, dihadapkan pada tantangan besar berupa kenaikan populasi penduduk di tengah produksi pangan cenderung stagnan.
Kebijakan Ketahanan Iklim
Dwikorita Karnawati mengatakan jika tidak ada intervensi kebijakan, potensi kerugian ekonomi di Indonesia (2020-2024) mencapai angka Rp544 triliun akibat dampak perubahan iklim. Karenanya, kebijakan ketahanan iklim menjadi salah satu prioritas dinilai mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp281,9 triliun hingga 2024 mendatang.
"Dalam RPJMN, BMKG diberikan mandat untuk mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup dan peningkatan ketahanan bencana dan iklim. Hal ini sangat penting karena berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan mencapai rata-rata Rp22,8 triliun per tahunnya," papar Dwikorita Karnawati.
Ia pun menegaskan, BMKG terus melakukan berbagai lompatan sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tak hanya di sisi teknologi, namun juga di sisi sumber daya manusia (SDM) terus ditingkatkan sesuai tuntutan dan kebutuhan yang semakin kompleks.
Data dan informasi dikeluarkan BMKG tidak hanya dibutuhkan untuk urusan penanggulangan bencana alam saja, namun juga kesehatan, konstruksi, energi pertambangan, pertanian kehutanan, tata ruang, industri, pariwisata, transportasi, pertahanan keamanan, sumber daya air, hingga kelautan perikanan.
"Khusus di sektor pertanian, BMKG terus melakukan penguatan literasi iklim dan cuaca kepada para petani dan penyuluh pertanian sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sekolah Lapang Iklim (SLI) terus digelar di seluruh penjuru Indonesia dengan menyasar berbagai komoditas unggulan pertanian," terang Dwikorita Karnawati.
Informasi kondisi iklim terkini dari BMKG telah digunakan sebagai salah satu referensi atau bahan pertimbangan pengambilan keputusan serta rekomendasi dalam sistem pemantauan ketahanan pangan nasional. Data dan informasi itu berupa anomali iklim global, monitoring kondisi iklim, dan prediksi iklim.
"Informasi tersebut dapat dijadikan referensi awal untuk menentukan status ketahanan pangan nasional. Apakah berada pada kategori aman, waspada, siaga, atau awas," pungkas Dwikorita Karnawati.
(and_)