KARANGANYAR, solotrust.com - Persatuan Aparatur Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) Karanganyar menggelar rapat kerja cabang (Rakercab) di aula Jawa Dwipa Heritage Resort and Convention Karanganyar, Rabu (15/11/2023). Dalam acara ini, Papdesi Karanganyar menelurkan dua poin penting tentang percepatan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.
Dalam revisi itu, poin paling utama terkait masa jabatan kepala desa yang diubah dari enam tahun dalam tiga periode menjadi sembilan tahun dalam dua periode.
Rakercab diikuti sebanyak 158 kepala desa (Kades) dan 13 camat di Karanganyar. Turut hadir Ketua DPP Papdesi Wargiyati, DPD Papdesi Jawa Tengah dan ketua Papdesi di wilayah sekitar Karanganyar.
Usai acara, Ketua Papdesi Karanganyar, Sutarso, mengatakan dalam revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 pada poin pertama hasil rakercab, yakni mendesak pemerintah untuk segera menetapkan revisi UU Nomor 6 tentang desa.
Dalam revisi itu, poin paling utama terkait masa jabatan kepala desa yang diubah dari enam tahun dalam dua periode menjadi sembilan tahun dalam dua periode.
"Kami mendesak agar undang-undang tentang desa yang terdapat salah satu pasal 39 tentang masa perpanjangan jabatan kades enam tahun agar diubah menjadi sembilan tahun dua periode," ujarnya.
Papdesi menginginkan perubahan masa jabatan kades ini didasari pertimbangan pemulihan konflik yang perlu dibenahi para kepala desa terpilih pascapemilihan kepala desa (Pilkades). Pasalnya, tak dapat dimungkiri, pemilihan di tingkat desa paling banyak ekses sosialnya.
"Masa jabatan enam tahun itu kurang untuk memulihkan situasi desa setelah pemilihan. Saat pemilihan itu pasti tensinya tinggi, butuh waktu panjang untuk mengembalikan kondisi tersebut," papar Sutarso.
Menurutnya, masa jabatan enam tahun tidak mencukupi untuk kades terpilih membangun infrastruktur serta program kerja lainnya. Masa jabatan sembilan tahun lebih ideal untuk masa kepemimpinan kepala desa.
Pada poin kedua dari pembahasan rakercab, yakni permasalahan kewenangan mengelola dana desa. Selama ini di beberapa kasus desa tak bisa leluasa mengelola dana desa.
"Contohnya dengan penanganan stunting yang merupakan program pusat, namun secara anggaran dibebankan ke tingkat desa memakai dana desa. Padahal, kebutuhan anggaran kita kan juga besar, tapi kenapa untuk penanganan stunting dibebankan ke dana desa," tanya Sutarso. (joe)
(and_)