Serba serbi

Ledre Laweyan, Oleh-oleh Khas Solo dari Olahan Kelapa dan Ketan

Wisata & Kuliner

15 April 2024 11:02 WIB

Jajanan khas Solo, Ledre Laweyan menjadi salah satu pilihan buah tangan wistawan. (Foto: Dok. solotrust.com/Dicky)

SOLO, solotrust.com – Kota Solo menyimpan banyak warisan kuliner khas nan autentik. Salah satunya Ledre Laweyan yang bisa dijumpai di kawasan Jalan Setono RT 02/RW 02, Laweyan, Solo sebagai tempat pembuatan ledre milik keluarga Susila.

Olahan kelapa dan ketan dengan isian pisang raja, cokelat, keju, dan telur ini sudah ada sejak 1984. Sementara, Susila adalah generasi kedua dari usaha yang didirikan ibunya, Sri Martini yang kala itu merupakan pembatik.



Jauh sebelum itu, ledre sebenarnya sudah ada sebagai salah satu makanan khas Solo. Namun, yang membedakan ledre milik Susila dengan ledre lainnya terletak pada pembuatannya; yakni tekstur ketan terasa empuk lantaran dimasak dua kali dengan dikukus lalu dipanggang di atas wajan. Selain itu juga terdapat aneka toping.

Susila mengungkapkan, ledre buatannya merupakan hasil modifikasi yang sudah dilakukan ibunya sejak awal memulai usaha.

“Dari resep ibu, sudah memodifikasi masakan dengan cara masaknya dikukus dulu, jadi lebih empuk, lebih cepat masaknya (di wajan). Kalau dari ibu sudah pakai pisang raja,” katanya saat ditemui solotrust.com di rumahnya beberapa waktu lalu.

“Terus mengembangkan kemarin ada telur, terus nangka, durian juga pernah, cuma susah nyari bahannya kalau pesanan banyak. Setiap hari yang ada terus kan pisang,“ imbuhnya.

Lahir karena batik printing

Usaha ledre milik keluarga Susila ini tak tiba-tiba muncul begitu saja. Kelahirannya justru dipengaruhi tren industri batik kala itu. Diungkapkan Susila, dulu ibunya merupakan penjual batik tulis dan cap yang dijual ke Ambarawa dan Yogyakarta.

Susila berkisah, berbarengan dengan tren batik printing makin masif di era 1980-an, ibunya sempat mendapat saran dari mitra kerja di Ambarawa. Dikatakan, nantinya batik tulis dan cap diprediksi bakal surut pembeli dengan hadirnya batik printing.

“Ibu dulu pertama batik, dia kulakan di Solo dijual ke Ambarawa sama ke Jogja (Yogyakarta). Dulu batik tulis sama cap,” terang Susila.

“Terus dibilang sama orang  Ambarawa itu, prediksi, ‘Bu, besok yang tulis sama cap akan kalah sama yang printing, ibu nggak usah jual lagi, soalnya kalah sama printing,” imbuh Susila menirukan penuturan orang yang menyarankan ibunya.

Orang Ambarawa yang dimaksud Susila itu lantas memberikan wajan baja untuk digunakan Sri Martini mengolah ledre. Orang Ambarawa itu juga menyarankan ibunya untuk memodifikasi resep ledre. Resep itu pun dipertahankan Susila hingga saat ini.

“Terus dia ngasih wajan baja, ‘wis, kowe gaweo iki wae (sudah, kamu bikin ini saja [ledre]-red), soalnya masih jarang orang yang makai, terus resepnya modifikasi sedikit’. Seperti tadi,”  tambah Susila kembali menirukan suara orang Amabarawa.

Adapun hingga kini, Susila masih meneruskan usaha ledre milik keluarga dibantu seorang karyawan dan istrinya. Susila memproduksi sekira 200 buah ledre setiap hari untuk diambil berbagai pembeli oleh-oleh hingga ke beberapa hotel.

Sementara, ia juga memiliki cabang di Foodcourt Terminal Tirtonadi dan di Banyuagung, Kadipiro, Banjarsari, Solo, dibantu kerabatnya.

Susila berharap, Ledre Laweyan resep ibunya sejak 1984 dapat menjadi ikon oleh-oleh Kota Batik. Lebih jauh, ia ingin menjaga keautentikan ledre modifikasi itu dengan hanya dijual di Laweyan tempatnya kini tinggal, meski menurutnya hal itu tak gampang.

“Orang kalau nggak bawa ledre berarti orang itu belum dari Solo. Saya pernah sekali ketemu orang seperti itu, kan pas di warung masih tutup, dia nunggu, ‘sudah lama mas saya nunggu, lha gimana kalau nggak bawa ini berarti nggak dari Solo’,” ungkapnya setelah mendengar kesaksian salah satu pembeli.

“Saya penginnya itu nggak ada cabang, di sini aja, tapi susah mengembangkannya,” pungkas Susila.

(and_)