SOLO, solotrust.com - Di tengah hiruk pikuk kehidupan Solo, Jawa Tengah, berdiam sosok inspiratif yang menjembatani dua budaya besar, Dr. Mahmud Hamzawi. Pria kelahiran Giza, Mesir, pada 1975 ini dikenal sebagai dosen, penerjemah, dan peneliti.
Lebih dari itu, ia adalah seorang sastrawan unik yang memilih menulis karya-karya berbahasa Indonesia murni, tanpa melalui proses terjemahan. Visinya sederhana, namun ambisius, yakni menginternasionalisasi Bahasa Indonesia melalui karya sastra yang ditulis langsung oleh penutur asing.
Dari Mesir ke Indonesia: Sebuah Perjalanan Akademis dan Personal
Perjalanan Dr. Mahmud Hamzawi ke Indonesia dimulai setelah ia menyelesaikan gelar Sarjana dalam Studi Islam berbahasa Inggris dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada 1999. Setelah lulus, ia bekerja sebagai penerjemah dan mengisi waktu luang dengan mengikuti kursus-kursus di pusat kebudayaan asing di Mesir, termasuk Pusat Kebudayaan Indonesia.
Titik baliknya terjadi ketika Mahmud Hamzawi mendapatkan beasiswa Darma Siswa dari Pemerintah Indonesia. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menjadi pelabuhan akademis pertamanya di Indonesia, di mana ia menempuh pendidikan S-2 (Magister dalam Studi Islam, Psikologi Pendidikan Islam) yang diselesaikannya pada 2009 dan S-3 (Doktor dalam Studi Islam, Politik Islam) yang dirampungkannya pada 2012.
Setelah menyelesaikan studi doktoral, Mahmud Hamzawi sempat berencana kembali ke Mesir. Namun, kondisi Mesir yang masih dilanda ‘Musim Semi Arab’ membuatnya memutuskan untuk tetap di Indonesia.
Ia kemudian bekerja selama empat tahun (2012-2016) sebagai penerjemah (Bahasa Arab, Indonesia, Inggris) di Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Selepas itu, Mahmud Hamzawi kembali ke dunia pendidikan, mengajar di Solo dan Yogyakarta. Saat ini, dirinya berprofesi sebagai dosen Studi Arab di STIM Surakarta (2017-2024) dan tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Merajut Kata dalam Bahasa Indonesia: Dari Dosen ke Sastrawan
Dr. Mahmud Hamzawi adalah seorang poliglot, fasih berbahasa Arab (bahasa ibu), Indonesia/Melayu, dan Inggris. Kemampuannya dalam Bahasa Indonesia tidak hanya sebatas komunikasi lisan, namun juga merambah ke ranah sastra. Sejak 2021, ia aktif terlibat dalam komunitas penulis di Sukoharjo, seperti Perkumpulan Penulis Satu Pena Sukoharjo, Omah Tulis, dan Sukoharjo Literasi.
Ketertarikannya pada dunia menulis semakin terasah ketika Mahmud Hamzawi dikenalkan oleh sastrawan senior Bambang Hermanto kepada Nuryadi Kartono, pengurus komunitas sastra Sukoharjo Literasi. Sejak saat itu, Nuryadi Kartono secara aktif melibatkannya dalam berbagai proyek penulisan.
Pada 2021, Mahmud Hamzawi berkontribusi dalam Antologi Sastra terbitan Dewan Kesenian Sukoharjo (DKS) dengan empat cerpen, di antaranya cerpen unggulan berjudul ‘Duta Sukoharjo.’
Ia juga menyumbangkan cerpen berjudul ‘Kampungku, Jangan Tunggu Lagi’ dalam antologi ‘Mencari Sosok Gimin’. Cerpen ini mengangkat kisah sederhana tentang pemuda yang berinisiatif memperbaiki jalan desa secara swadaya karena minimnya bantuan pemerintah.
Karya-karya Dr. Mahmud mendapat pengakuan. Salah satu ceritanya menjadi judul utama dalam antologi cerpen berjudul ‘Masa Lalu Berakhir di Banyuwangi’. Cerpen ini mengandung pesan moral tentang penanganan orang tua terhadap anak yang ‘bandel’ dengan akhir tragis, namun menyentuh, di mana anak dan orang tua sama-sama menyadari kesalahan mereka.
Ia juga berkontribusi pada antologi cerita anak berjudul ‘Anak yang Lupa Jalan Pulang’ dengan enam cerita. Cerita pertama dalam antologi ini, ‘Anak yang Lupa Jalan Pulang’, menekankan pentingnya anak menghafal alamat rumah dan nomor telepon untuk keselamatan.
Mahmud Hamzawi memiliki misi untuk menginternasionalisasi Bahasa Indonesia. Ia percaya salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan mendorong orang asing menulis karya sastra langsung dalam Bahasa Indonesia, tanpa melalui proses terjemahan.
Baginya, kemampuan menulis dalam Bahasa Indonesia sudah seperti kamus yang tersimpan di kepala, hasil dari interaksi harian dengan bahasa tersebut. Mahmud Hamzawi ingin pembaca merasa nyaman dengan tulisannya, meskipun ia adalah penulis asing yang menulis murni dalam Bahasa Indonesia.
Sosok Yudistira: Cerminan Dedikasi dan Kepedulian
Dalam cerpen ‘Guru Yudistira dan Tujuh Mahasiswa Asing’ yang dimuat dalam buku ‘Masa Lalu Berakhir di Banyuwangi’, Mahmud Hamzawi menggambarkan sosok Yudistira, seorang guru SMK berusia 50 tahun yang sangat disiplin dalam berlalu lintas dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Yudistira, dengan gigihnya, memprakarsai gerakan ‘Aku Siap Mengalah di Jalan, Aku Peduli dengan Keselamatan’ di sekolahnya, yang kemudian berhasil melibatkan masyarakat luas.
Kisah Yudistira ini menarik perhatian reporter televisi nasional. Dalam wawancara, Yudistira menegaskan undang-undang saja tidak cukup untuk menumbuhkan kesadaran berlalu lintas; perlu ada contoh nyata dan penghargaan bagi pengguna jalan yang baik. Ia juga menyoroti pentingnya etika berkendara, termasuk penggunaan knalpot standar, dan bermimpi mendirikan Yayasan Mitra Peduli Jalan Umum.
Dedikasi Yudistira bahkan menginspirasi tujuh mahasiswa Arab yang sedang belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta yang kemudian turut membantunya dalam sebuah insiden di jalan dan bahkan memberinya penghargaan atas upayanya.
Duta Sukoharjo: Menginspirasi Perubahan
Cerpen ‘Duta Sukoharjo’ menceritakan kisah Aditya Sudibyo, seorang sarjana lulusan Mesir yang bertekad membawa perubahan positif bagi kampung halamannya. Aditya yang merupakan putra seorang tukang becak, berupaya melestarikan becak sebagai budaya tradisional. Ia bahkan berhasil memperkenalkan becak di Mesir, mengidentifikasikannya sebagai potensi kerja sama bisnis baru antara Indonesia dan Mesir.
Aditya juga memiliki ide brilian untuk mengembangkan kampungnya menjadi destinasi wisata bertema Majapahit, terinspirasi dari ‘The Pharaonic Village’ di Mesir. Meskipun Aditya meninggal dunia sebelum mimpinya terwujud, pemikirannya yang cemerlang tetap menjadi warisan. Melalui karya-karya seperti ini, Dr. Mahmud Hamzawi tidak hanya menghibur, namun juga menyisipkan pesan-pesan moral dan kepedulian sosial yang kuat.
Warga Mesir dengan Hati Indonesia
Dr. Mahmud Hamzawi adalah seorang warga Negara Mesir yang telah lama tinggal di Indonesia. Ia menikah dan memiliki tiga anak. Dengan segudang pengalaman sebagai narasumber seminar dan kontributor artikel di berbagai jurnal dan media massa Indonesia, seperti UNS CMES, Suara Muhammadiyah, dan Pontianak Pos, ia telah membuktikan dedikasinya pada dunia pendidikan dan literasi di Indonesia.
Mahmud Hamzawi bahkan memiliki penghargaan Sertifikat Penghargaan dari Kedutaan Besar Indonesia di Kairo atas karya cerita pendek berbahasa Indonesia berjudul ‘Masa Lalu Berakhir di Banyuwangi’.
Dengan latar belakang pendidikan kuat dan pengalaman yang kaya, Dr. Mahmud Hamzawi tidak hanya menjadi seorang akademisi, namun juga seorang duta yang menjembatani budaya, membawa semangat literasi, dan menginspirasi melalui setiap kata yang ditulis dalam bahasa yang telah ia pilih untuk diinternasionalisasi, yakni Bahasa Indonesia. Ia bahkan memiliki kemungkinan untuk pindah menjadi warga Negara Indonesia, semakin mengukuhkan ikatan kuatnya dengan negeri ini. (Annabatista Bria)
(and_)