SOLO, solotrust.com – Pepustakaan Masjid Sheikh Zayed Solo mengagendakan bedah buku bersama para penulis setiap hari sebagai ruang dialektika terbuka masyarakat Solo. Agenda ini disambut meriah Aquarina Kharisma, penulis buku berjudul Anti Feminisme: Arketipe Ibu, Kuasa, dan Ideologi. Rabu (23/07/2025) pukul 20.00 WIB.
Penulis asal Jawa Timur itu hadir bersama narasumber kedua, Fanny Chotimah selaku filmmaker dan pemerhati gender. Keduanya membedah persoalan gerakan feminisme dan antifeminisme di Indonesia. Yessita Dewi mendampingi dialektika ini sebagai moderator.
Acara bedah buku Anti Feminisme menarik cukup banyak pemerhati, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini membuat diskusi berjalan intensif dan komprehensif. Pemerhati berasal dari beragam latar belakang, seperti aktivis feminisme, dosen, filosof Sekolah Pemikiran Perempuan, dan laki-laki pemerhati isu gender di lingkungan hukum Islam.
Keragaman latar belakang peserta bedah buku membuat dialektika berjalan cukup panas karena terdapat dua gerakan dalam satu ruangan, yakni paham feminisme dan antifeminisme. Meskipun berjalan cukup panas, dialektika tetap dibawakan secara intelek, adu gagasan tanpa menyerang individu tertentu.
Penulis buku Anti Feminisme: Ibu, Kuasa, dan Ideologi, Aquarina Kharisma menanggapi salah satu pertanyaan dari pemerhati tentang alasan mengapa dia menamakan bukunya sebagai anti dari feminisme. Aquarina menerangkan, kata antifeminisme diadaptasi dari konsep antitesis, maka antitesis dari gerakan feminisme adalah gerakan antifeminisme.
Menurutnya, gerakan feminisme tidak bisa dikembangkan di Indonesia karena merupakan ideologi Barat yang menyerang konsep agama dan budaya asli di Indonesia. Aquarina Kharisma mendukung penggantian feminisme dengan ibuisme karena lebih menjunjung kuasa perempuan dunia ketiga.
“Kenapa dia antifeminisme itu karena dia antitesis, jadi dalam teori revolusioner Bone ketika suatu paradigma di dalam suatu teori sudah menjadi anomali, maka dia tidak bisa dipertahankan, dia harus direvolusi atau revolusi paradigma. Jadi ketika tesis feminisme itu paradigmanya bermasalah, maka paradigma itu perlu direvolusi, dia harus diruntuhkan. Upaya peruntuhan itu harus pakai antitesis, nah antitesis terhadap tesis feminis saya namai antifeminisme,” terang Aquarina Kharisma.
Tidak semua gerakan wanita, menurut Aquarina Kharisma adalah feminism.
“Itu yang saat ini tidak kita sadari. Dipikirnya itu kalau ngomongin gender itu gerakan feminis, kalau ngomong tentang perempuan itu feminis. Padahal nggak seperti itu, misalnya di Kongres Perempuan Indonesia I, ibu-ibu bangsa kita yang ikut di dalam kongres sudah menyatakan untuk tidak ikut feminisme, jangan ikut Suffragette Inggris juga, kita harus punya karakter pergerakan wanita kita sendiri,” papar Aquarina Kharisma.
“Tapi itu namanya belum ada, kemungkinan ada satu nama itu yang digagas oleh Wijaya Ningrat, yaitu ibuisme. Hanya saja, itu berarti kita tengah mencari teori baru, dari tesis menuju teori baru di tengahnya harus ada antitesis. Oleh karena itu, tesis ini adalah sebuah antitesis menuju nanti ibuisme,” sambungnya.
Pendapat ini sedikit bertentangan dengan paham narasumber kedua, Fanny Chotimah. Ia menjelaskan, terjadi kemungkinan pemukulan rata konsep pemahaman feminisme dalam buku Anti Feminisme: Ibu, Kuasa, dan Ideologi karya Aquarina Kharisma.
Fanny Chotimah menyampaikan, gerakan feminisme terjadi dalam beragam gelombang dan kritik dalam buku belum dapat dimengerti sebagai kritik terhadap gerakan feminisme secara luas. Ia merasa kritik dalam buku tertuju pada gerakan feminisme liberalis atau radikal. Sementara kini, gerakan feminisme telah berkembang menjadi post modern.
“Dari buku ini kan paradigma selalu berkembang, saya merasa buat saya ini bukan seperti antifeminisme, tetapi malah seperti anti-SJW (pejuang keadilan sosial-red) buat saya yah. Kalau misalnya semangatnya, bicara lagi mengenai perempuan Jawa seperti apa, spirit-nya bahwa mereka memiliki kekuasaan yang tidak bisa dilihat secara gamblang gitu ya,” sebut Fanny Chotimah.
“Ya, feminisme berkembang, sejauh saya membaca ini seperti feminisme radikal atau liberal, yang mana ini mengangkat ranah dari korban. Sementara, feminisme itu berkembang pemikiran-pemikiran sampai ke feminisme saat ini gitu,” lanjut dia.
Dialektika semakin mendalam dibersamai waktu yang semakin larut. Sayangnya, dialektika harus berhenti karena regulasi operasional Masjid Sheikh Zayed Solo hanya mengizinkan acara hingga pukul 22.00 WIB.
Acara bedah buku belum mampu menyelaraskan simpang ideologi para pemerhati, namun telah dapat menyimpulkan gerakan pemberdayaan perempuan antara keduanya sama memiliki tujuan untuk memberikan kesempatan pada para perempuan untuk mengakses banyak hal di kehidupan. Tidak penting apa pun nama gerakannya, tujuan mereka tetap sama, yakni menyuarakan hak perempuan Indonesia.
*) Reporter: Eka Ririn Marantika/Salma Arezha/Siti Latifah
(and_)