Serba serbi

Kembangkan Destinasi Digital, Kemenpar Bakal Munculkan 10 “Bali Baru“

Wisata & Kuliner

23 September 2018 06:02 WIB

Pesona keindahan Danau Toba (Dok maritim.go.id)

SOLO, solotrust.com - Kemajuan teknologi di era milenial sudah mengubah banyak komponen destinasi pariwisata, salah satunya turis yang berkunjung. Untuk itu, dirancang sebuah strategi khusus untuk mengembangkannya dengan membentuk sebuah social movement (voluntary basis).

Dalam orasi ilmiah kepada wisudawan di Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Surakarta, Kamis (20/9/2018) lalu, Staf Ahli Kementerian Pariwisata Bidang Ekonomi dan Kawasan Pariwisata, Anang Sutono menyebut, destinasi digital (digital destination) sudah menjadi perhatian Kementrian Pariwisata (Kemenpar) sejak tahun 2015.



"Social movement (voluntary basis) itu bernama GENPI (Generasi Pesona Indonesia) dan GENWI (Generasi Wonderful Indonesia) yang anggotanya terdiri dari anak muda pemakai teknologi digital, terutama media sosial," ujar dia.

Bahkan, Anang berujar terjadi pergeseran tren wisatawan di mana wisatawan milenialis lebih suka berswafoto daripada membeli suvenir.

"Mereka juga lebih suka menabung untuk traveling. Bagi mereka harta terbesar adalah pengalaman dan merasakan dengan mata dan kepala sendiri berbagai destinasi pariwisata dunia daripada menabung asset untuk jaminan masa tua," tuturnya.

Merespon hal tersebut, kata Anang, Kemenpar dalam Rakornas di Bali pada Maret 2018 telah menelurkan program Digital Dastinadons & Nomadic Tourism.

"Pada Rakornas tersebut menghasilkan sejumlah keputusan strategis. Di antaranya komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan destinasi digital dengan target 100 pasar digital di 34 provinsi, dukungan regulasi terhadap pengembangan 10 nomadic tourism (glamp camp, home pod, dan caravan), serta dukungan regulasi aksesibilitas untuk sea plane," urai dia.

Ia menjelaskan bahwa destinasi digital adalah destinasi yang heboh di dunia maya, viral di media sosial dan ngr-hits di lnstagram. Bagi dia, digital destination menjadi tuntutan di era booming teknologi yakni generasi milenial merupakan konsumen yang paling haus akan pengalaman dibanding generaai-generasi sebelumnya.

"Hasil survei di seluruh dunia (Everbrite-Harris Poll, 2014) membuktikan bahwa milenial lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk pengalaman ketimbang membeli barang-barang," bebernya.

Sedangkan nomadic tourism, dicanangkan sebagai solusi dalam mengatasi keterbasan unsur 3A (atraksi, amenitas, dan aksesibilitas) khususnya untuk sarana akomodasi yang sifatnya bisa dipindah-pindah dan bentuknya bermacam-macam seperti glamp camp, home pod, dan caravan. Muncullah Istilah Bali Baru.

"Nomadic tourism untuk sementara akan difokuskan pada 10 destinasi prioritas atau 'Bali baru' dengan memanfaatkan empat destinasi sebagai pilot project yakni Danau Toba, Labuan Bajo, Mandalika, dan Borobudur dengan sasaran utama adalah backpackers dari seluruh dunia," terangnya.

Berdasarkan data Kemenpar, jumlah backpackers di seluruh dunia mencapai 39,7 juta orang yang terbagi dalam tiga kelompok besar yakni pertama, flashpacker atau digital nomad memiliki potensi sekitar 5 juta orang yang menetap sementara di suatu destinasi sembari bekerja.

Kedua glampacker atau milenial nomad yang mencapai 27 juta orang dengan mengembara di berbagai destinasi dunia yang instagramable dan ketiga, luxpacker atau luxurious nomad sebanyak 7.7 juta orang lebih suka mengembara untuk melupakan hiruk-pikuk aktivitas dunia.

"Sebagai aksesibilitasnya adalah sea plane dengan mudah membawa wisatawan dari pulau ke pulau, apalagi seperti di indonesia di mana jumlah pulau mencapai 17 ribu Iebih," ungkap dia.

Anang menyimpulkan, nomadic tourism memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena mengurusinya juga relatif mudah, sehingga idealnya para pelaku industri pariwisata mau mengembangkan bisnis ini, terutama untuk aksesibilitas dan amenitasnya karena konsep ini cepat memberikan keuntungan komersial. (adr)

(way)

Berita Terkait

Berita Lainnya