Hard News

HAMI Gelar Dialog Publik Bahas Ancaman Bangkitnya Negara Khilafah

Jateng & DIY

14 Maret 2019 20:31 WIB

Dialog Publik yang digelar HAMI, Rabu (13/3/2019). (solotrust-adr)

SOLO, solotrust.com – Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI) menggelar dialog publik membahas ancaman akan kebangkitan negara khilafah di tengah tensi politik yang kian memanas. Dialog publik digelar di sebuah rumah makan di Banjarsari, Solo, Solo, Rabu (13/3/2019).

Hadir dalam dialog tersebut sebagai narasumber yakni Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara Yogyakarta Muhammad Mustafid dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus Pakar Kajian Islam Studies Muhammad Yaser Arafat. Dialog publik tersebut dihadiri sekitar 300-an peserta dari berbagai kalangan.



Menurut Mustafid, bangkitnya negara khilafah, radikalisme, dan Islam jalur kiri menjadi kewaspadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena mengancam keberagaman suku, agama, ras dan budaya yang berlandaskan Pancasila ini.

Di level internasional, ada tiga jaringan Islamisme global yang menurutnya dapat mengancam NKRI dan Pancasila. Pertama adalah jaringan salafi-wahabi dengan ideologi takfiri dan jihadi mereka yang mengarah pada perjuangan metode terorisme dan kekerasan.

Kedua, kelompok Muslim yang berupaya menjadikan negara Islam sesuai syariat versi mereka. Dan Ketiga merupakan ikhwanul muslimin yang merupakan pecahan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Imajinasi mereka ingin mewujudkan sebuah pemerintahan global dengan satu kepemimpinan khilafah. Hemat saya dalam arti khilafah sesungguhnya sebenarnya netral banyak digunakan dalam literatur fikih politik dalam tradisi pesantren Islam, namun pemahaman sebagian orang terkait kata tersebut diartikan salah,” kata pria yang akrab disapa Gus Mustafid itu.

Lanjut dia, tahun politik ini cukup rawan untuk ditunggangi ideologi yang berbenturan dengan konsep negara bangsa berdasarkan Pancasila. Bagi dia, NKRI yang berbasis Ideologi Pancasila sudah sangat Islami sesuai dengan fikih politik sehingga tidak perlu diubah-ubah.

Maka dari itu, diperlukan penanaman Pancasila untuk mencegah sedini mungkin paham yang berbenturan dengan Pancasila.

Sementara itu Yaser Arafat berpendapat bahwa anak muda sekarang memiliki sisi psikologis untuk mencari nilai baru untuk identitas dirinya. Salah satunya adalah ke arah religiositas. Meski di tengah sebuah dunia kapitalisme, namun religiositas tak akan pernah tergerus.

“Maka dari itu, radikalisme agama yang sudah terlanjur masuk ke Indonesia harus dijaga dan dicegah agar tak berkembang ke pemahaman anak muda. Munculnya simbol-simbol Islam yang ingin membenturkan Islamisme dengan negara dengan Pancasila harus dipahami benar. Jika anak muda di tahun 60-an ditawarkan dengan masuknya rock and roll di Indoensia, maka milenial sekarang ini ditawarkan dengan radikalisme,” ujarnya.

Yaser berharap peran dari para ulama, guru, atau ustaz yang paham dengan Alquran dan sunah agar dapat memberikan pemahaman yang baik dan tak menjerumuskan ke arah yang salah. Pancasila harus ditegakkan, serta di era digital ini setidaknya dimanfaatkan untuk menebar rasa cinta terhadap Pancasila.

“Peran ulama di sini sangat penting, ulama harus mengajarkan dengan bahasa dan dasar keislaman yang benar bukan dengan cara yang dangkal. Seperti mencampuradukkan politik dan agama, memanipulasi sejarah agama, seperti sejarah wali songo yang dibelokkan ada, kemudian menyampaikan informasi yang salah tentang pemerintah, menyesatkan agar kontra dengan pemerintah,” terangnya. (adr)

(way)