SOLO, solotrust.com - Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, berjanji akan mengatasi persoalan mahalnya bibit ayam petelur.
Hal itu disampaikan saat asosiasi Pinsar Petelur Nasional (PPN) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-2, Rabu-Kamis, 24-25 April 2019 di Orient Restoran, Solo.
Dalam Munas tersebut, para peternak rakyat menyampaikan keluhan soal mahalnya harga bibit ayam atau Day Old Chick (DOC) yang mencapai 2 kali lipat dalam setahun ini. Dari awalnya Rp 5.000 - Rp 5.500 menjadi Rp 10.000 - Rp 11.000 per ekor.
"Bibit akan saya atasi. Karena selama ini kan ada 48 perusahaan yang menghasilkan DOC Parent Stock (PS) dan Final Stock (FS). Tapi belum cukup, saya akan analisis ulang," tuturnya pada media usai acara, Kamis (25/4/2019).
Pihaknya berjanji akan mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa menyiapkan pembibitan khusus untuk peternak mandiri. Pihaknya yakin para peternak mandiri akan mempermainkan soal stok DOC.
Terkait mahalnya jagung yang merupakan 50 % komposisi utama pakan ayam, pihaknya mengatakan langkah yang diambil tergantung keadaan di lapangan. Di satu sisi stok jagung untuk peternak harus dijaga, tapi di sisi lain kedaulatan para petani jagung tidak boleh terancam impor jagung.
"Kalau keadaan di lapangan harganya naik terus langka, kan kita bisa masukin. Nah yang saya tidak mau, jangan sampai petani jagung kita sudah menghasilkan jagung, kita impor jagung. Akhirnya harga di petani turun, kapok menanam jagung. Semua harus kita jaga," tegasnya.
Melalui Munas tersebut, pihaknya mendukung upaya PPN untuk mewujudkan peternakan yang bermartabat. Untuk itu, ia mengajak para peternak harus jujur menyampaikan data dan populasi. Sehingga pihaknya di pusat gampang menghitung terutama terkait kebutuhan pakan.
Di sisi lain, pihaknya mengakui di sisi tingkat pendistribusian, belum bisa memenuhi kesejahteraan para peternak. Namun ia juga mengajak peternak untuk mengubah keadaan mereka. Salah satunya dengan mengubah sistem peternakan terbuka (open house) menjadi tertutup (closed house).
"Saya tetap sarankan untuk closed house. Karena kan lebih efisien, lebih efektif dan kualitas yang dihasilkan lebih baik," pungkasnya. (Rum)
(wd)