Hard News

World Press Freedom Day, AJI dan PPMI Solo Serukan Perlindungan dan Kesejahteraan Jurnalis

Jateng & DIY

3 Mei 2019 16:37 WIB

Aksi komunitas wartawan di Solo dalam memperingati World Press Freedom Day di Monumen Pers Nasional, Timuran, Bnjarsari, Solo, Jumat (3/5/2019).

SOLO, solotrust.com – Momentum World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Dunia yang diperingati setiap 3 Mei dimanfaatkan komunitas wartawan di Kota Solo menggelar mimbar bebas dan puisi refleksi di depan Monumen Pers Nasional, Timuran, Banjarsari, Solo, Jumat (3/5/2019) siang. Mereka menyerukan perlindungan dan kesejahteraan terhadap jurnalis.

Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Surakarta, dan elemen lainnya menggelar aksi dengan membentangkan spanduk bertuliskan Defend Journalism dan sejumlah poster dengan nada-nada sentilan curahan hati para jurnalis, mereka berorasi menentang dunia pers Indonesia yang masih diwarnai berbagai hal yang mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi. Warga yang sedang membaca berita dinding di depan Monumen Pers tak luput dari cuitan wartawan, bahwa berita yang mereka konsumsi bagian dari perjuangan para jurnalis.



Ketua AJI Surakara, Adib Mutaqin mengatakan, peringatan World Press Freedom Day setiap 3 Mei ini menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan pers di setiap negara, termasuk Indonesia. Melalui momentum ini ia menyampaikan kepada pemerintah, aparatur negara, elemen masyarakat, hingga pemilik media agar lebih peduli terhadap nasib jurnalis.

Menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI lndonesia, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 2018. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga upaya pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah itu meningkat dari tahun 2017 sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu sebanyak 81 kasus, paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.

Adib juga menguraikan sejumlah kasus mulai dari pada awal 2019, kekerasan terhadap jurnalis oleh massa sudah terjadi 21 Februari lalu saat para awak media meliput kegiatan Munajat 212 di Monas, Jakarta. Dan terbaru, dua jurnalis foto, Iqbal Kusumadireza (Rezza) yang bekerja sebagai pekerja lepas dan Prima Mulia (Tempo), mengalami penganiayaan disertai penghapusan foto. Kekerasan tersebut terjadi saat mereka sedang menjalankan tugas jurnalistik, yaitu meliput aksi demo Hari Buruh di Kota Bandung, Rabu (1/5/2019).

Selain itu, kabar buruk juga datang dari Kota Semarang. Abdullah Munif, seorang pekerja perusahaan media di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), yang menerima pil pahit sehari menjelang peringatan Mav Day atau Selasa (30/5/ 2019), tenaga lay out surat kabar Suara Merdeka itu menerima sepucuk surat yang berisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dari perusahaannya.

”Kami berupaya menghentikan kekerasan kepada wartawan saat liputan, banyak sekali kasus kekerasan terhadap wartawan, ada kawan kita di Solo beberapa waktu yang lalu nyaris menjadi sasaran amukan massa, dan ini juga sekaligus solidaritas dua kawan kami di Bandung yang saat melakukan aktivitas jurnalistik meliput hari buruh mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Itu menjadi contoh potret buram dunia pers di Indonesia. Dan masih banyak lagi masalah kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis, profesionalisme jurnalis dan media, dan independensi,” ungkap Adib saat ditemui solotrust.com di sela aksi.

Dirinya menjelaskan, dalam indeks kebebasan pers dunia yang dilaporkan Reporters Without Borders (RSF) pertengahan April 2019 lalu, menunjukkan Indonesia masih berada di peringkat ke 124 dari 180 negara alias stagnan. Penyebabnya adalah karena masih terdapat kasus intimidasi, kekerasan, hingga adanya UU ITE serta UU Anti Penodaan Agama.

”Kami meminta kepada semua pihak untuk ikut menghentikan fenomena kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis. Kami juga mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh indonesia, termasuk insiden kekerasan yang terjadi di Bandung pada 1 Mei 2019 lalu,” tuturnya.

Pihaknya juga menuntut perusahaan media untuk menjamin kesejahteraan wartawan, hal itu dimaksudkan sebagai kunci menjaga independensi, profesionalitas agar wartawan perusahaan media apapun itu statusnya baik wartawan karyawan tetap, kontrak, maupun kontributor dapat terjamin kesejahteraannya.

”Kami juga mengimbau perusahaan media untuk memberikan upah layak dan kesejahteraan kepada para awak media, dan tidak mengabaikan hak-hak pekerjanya,” tukasnya.

Sementara itu, Sekjen PPMI Dewan Kota Surakarta, Muhammad Taufik menyampaikan hal yang  berkaitan dengan pers mahasiswa, pihaknya mendesak agar para pimpinan perguran tinggi untuk menjamin kebebasan berekspresi di kampus. Selain itu, mendesak Menristekdikti M. Nasir untuk memberikan perhatian dan menindaklanjuti kasus ancaman kebebasan berekspresi di perguruan tinggi, termasuk keputusan Rektor Universitas Sumatra Utara membubarkan Pers Mahasiswa Suara USU belum lama ini.

”Kami sebagai jurnalis kampus sering kali mendapat di intervensi, baru-baru ini kawan kami di USU Sumatera Utara SK nya dicabut. Kerja jurnalistik, mimbar akademik yang harusnya diupayakan bersama malah dibungkam oleh kampus. Kami menaruh empati dan simpati kami terhadap jurnalis. Itulah yang kami rasakan dan alami, seperti tidak boleh memberitakan suatu hal, kebebasan pers tidak dirasakan, alias aliran berita dikontrol pihak kampus,” bebernya. (adr)

(wd)