SOLO, solotrust.com - Kurangnya akses informasi akan lembaga pengada layanan dinilai menjadi salah satu penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan. Hal itu diungkap oleh Rahayu Purwaningsih, Direktur Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Surakarta.
Menurutnya, akhir-akhir ini sering terjadi kasus kekerasan yang menimpa perempuan dimana si perempuan harus menanggung sendirian. Misal, kasus pembuangan bayi atau aborsi. Seringkali lebih dilihat dari sisi perempuan sebagai pelaku, tapi tidak dilihat lebih jauh siapa yang menghamili perempuan itu atau mengapa itu bisa terjadi.
"Pada saat perempuan yang mengalami kekerasan itu mendapatkan akses layanan pengaduan dan mendapat dukungan dari P2PT2A di tingkat kabupaten/kota, dia tidak akan mengalami kebingungan, dia tidak akan menjadi pelaku pembuangan bayi atau aborsi. Karena mendapat dukungan psikologis dan moril," paparnya pada solotrust.com beberapa waktu lalu.
Ayu menjelaskan bahwa selama ini tidak banyak wanita yang mengetahui tentang adanya lembaga pengada layanan, atau bagaimana melapor ke kepolisian, bagaimana akses ke Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), adanya Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Terhadap Anak-anak (P2PT2A), Pos Pelayanan Terpadu dan lainnya.
Manajer Divisi PPKBM, Fitri menambahkan, berdasarkan data tahun 2018, sebanyak 58 kasus kekerasan terhadap perempuan ditangani oleh SPEK-HAM. Dari 58 kasus tersebut ternyata 55 orang pengadu tidak tahu adanya layanan dan hanya 3 orang tahu bahwa pemerintah punya layanan yang dapat menerima aduan mereka.
Kata Ayu, bila para wanita mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pendampingan, pada saat wanita mengalami situasi sulit seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak mendapat nafkah dari suami, kekerasan dalam pacaran, kehamilan yang tidak diinginkan dan sebagainya, mereka dapat memanfaatkan fasilitas yang ada.
"Menurut saya semua elemen harus bekerjasama untuk berkontribusi dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan," ujar Ayu.
Untuk itu, SPEK-HAM rutin melakukan workshop dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk media, secara berkala melalui Focus Group Discussion (FGD). Ayu menerangkan kegiatan rutin itu bertujuan menjalin sinergitas antara SPEK-HAM, sebagai lembaga pengada layanan dengan berbagai elemen masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Ia berharap media tidak hanya sekedar melakukan peliputan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan tapi lebih dari itu, bagaimana lebih banyak menekankan hak-hak bagi korban hingga menginformasikan layanan bagi korban termasuk memberikan edukasi kepada masyarakat.
"Media berperan tidak sekedar memiliki peran untuk pemberitaan tapi juga melakukan edukasi kepada masyarakat tentang adanya layanan bagi wanita korban korban kekerasan," harapnya.
Adapun kegiatan workshop bersama media dengan tema "Korban Bersuara, Data Berbicara, Meretas Asa Keadilan Bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender" telah dilakukan pada Rabu, 15 Mei 2019 di Hotel Grand HAP Solo.
Sebagai informasi, Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2018 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), diketahui ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018, naik 14% dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466.
Kasus kekerasan di Jawa Tengah pada 2018 sebanyak 2.503 kasus, dengan kasus tertinggi Kekerasan Fisik 940 kasus dan Kekerasan Seksual 907 kasus. Usia korban yang mengalami kekerasan rentang usia remaja dan usia produktif. Tertinggi di usia 13-17 tahun yaitu 732 orang, peringkat ke dua di usia 25 - 44 tahun sejumlah 723 orang.
Sedangkan untuk data kasus Kekerasan terhadap Perempuan yang ditangani SPEK-HAM sendiri untuk tahun 2018 ada peningkatan dari tahun sebelumnya sebanyak 66% menjadi 58 pengaduan. (Rum)
(wd)