Hard News

Guru Besar UGM: Masyarakat Tak Perlu Berlebihan Sikapi Jenazah Pasien COVID-19

Sosial dan Politik

06 April 2020 08:09 WIB

(Dok. Kementerian Kesehatan RI)


Solotrust.com - Fenomena penolakan pemakaman jenazah pasien positif corona terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Terkait hal ini, sebagaimana dilansir dari laman Humas UGM (3/4/2020), Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan UGM, Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D, Sp.MK., menegaskan masyarakat seharusnya tidak perlu bereaksi terlalu berlebihan dalam menghadapi jenazah pasien yang meninggal akibat infeksi virus corona (COVID-19), bahkan hingga menolak pemakamannya.



Menurutnya, masyarakat tidak ada alasan untuk menolak  jenazah pengidap COVID-19 karena rumah sakit telah menangani jenazah sesuai panduan medis yang memastikan keamanannya. Salah satunya jenazah dibungkus plastik atau kantong jenazah yang tidak mudah tembus.

"Dengan menjalani semua prosedur pemakaman jenazah COVID-19, sesuai guideline dari Kemenkes, Kemenag, dan MUI, maka tidak akan menimbulkan penularan. Semestinya tidak ada penolakan," terangnya kepada Ika dari Humas UGM via sambungan telepon, Jumat (3/4).

Pakar mikrobiologi ini menjelaskan ketika jenazah telah dibungkus dan dikubur maka virus akan ikut mati.

Saat orang meninggal, selnya mati sehingga virus di dalamnya tidak akan berkembang. Sifat virus dalam jenazah sama dengan virus yang ada di tanah, lantai, maupun barang yang akan mati dalam jangka waktu tertentu. 

Dia menyebutkan risiko penularan jenazah positif COVID-19 ke manusia akan minimal apabila seluruh langkah pemulasaran dilakukan sesuai pedoman penanganan yang dikeluarkan Kemenkes. Antara lain, petugas kesehatan memakai APD saat pemulasaran jenazah, jenazah harus terbungkus seluruhnya dalam kantong jenazah yang tidak mudah tembus sebelum dipindahkan ke kamar jenazah, jangan ada kebocoran cairan tubuh yang mencemari bagian luar kantong jenazah, dan sesegera mungkin memindahkan ke kamar jenazah.

Berikutnya, jika keluarga pasien ingin melihat jenazah diizinkan sebelum dimasukkan ke kantong jenazah dengan syarat memakai APD. Jenazah tidak boleh disuntik pengawet atau balsem, jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi, jenazah hendaknya diantar dengan mobil jenazah khusus, dan sebaiknya jenazah tidak lebih dari 4 jam disemayamkan di pemulasaran jenazah. Petugas juga harus memberikan penjelasan ke pihak keluarga terkait penanganan khusus yang meninggal karena penyakit menular dan memperhatikan sensitivitas agama, budaya, dan adat istiadat.

"Perlakuan yang sama juga diperuntukan bagi jenazah berstatus PDP yang hasil pemeriksaan laboratorium COVID-19 belum keluar," jelasnya.

Dia kembali mengimbau masyarakat untuk tidak panik dan menolak jenazah pasien COVID-19. Sebab, jenazah telah dibungkus plastik atau kantong jenazah kedap udara sehingga tidak akan ada virus yang menyebar keluar. Dengan perlakuan tersebut jika ada cairan yang keluar dari tubuh jenazah akan tetap berada di dalam kantong jenazah.

"Jadi, kami imbau masyarakat agar tidak panik petugas kesehatan telah memperlakukan jenazah pasien COVID-19 sesuai protokol. Jenazah telah dibungkus sedemikian rupa agar tidak bocor dan dijamin keamanannya," paparnya.

Dihubungi Ika dari Humas UGM secara terpisah, Nanung Danar Dono, Ir., S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., menyayangkan masih adanya masyarakat yang menolak pemakaman jenazah pasien positif corona. Padahal, secara kemasyarakatan hal tersebut tidak semestinya terjadi. Masyarakat seyogianya tidak boleh ada penolakan pemakaman pasien yang meninggal dengan diagnosis apapun.

"Yang terjadi adalah ketakutan yang berlebihan. Padahal, pemerintah sudah ada protokol kesehatan yang menjamin keamanan dengan risiko penularan yang sangat kecil dari jenazah pasien COVID-19," kata Ketua Health Promoting University (HPU) Fakultas Peternakan UGM ini.

Sementara itu secara agama, penolakan pemakaman jenazah juga tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Demikian pula dalam agama Islam, jenazah harus diperlakukan dengan baik dan dikubur dengan penghormatan serta penghargaan.

Dalam syariat Islam pemakaman jenazah termasuk fardu kifayah. Apabila tidak dijalankan atau tidak ada yang mau melakukan maka semua akan berdosa.

"Hak muslim yang sudah meninggal harus dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Jadi, kalau menolak pemakaman itu tidak benar secara syariat Islam," tandas Nanung.

Direktur Halal Center Fakultas Peternakan UGM ini juga menjelaskan dalam pengurusan jenazah pasien COVID-19, MUI telah mengeluarkan fatwa terutama dalam memandikan dan mengafani yang harus dilakukan sesuai protokol medis oleh pihak berwenang dengan tetap memperhatikan hukum agama. Sedangkan untuk menshalatkan dan memakamkan dilakukan dengan tetap menjaga petugas dan pelayat tidak terpapar COVID-19.

"Untuk shalat jenazah dilakukan minimal 1 orang, jika tidak memungkinkan bisa dishalatkan di kuburan dan itu tidak memungkinkan bisa dari jauh atau shalat ghaib," urainya.

Menurutnya, jenazah tidak dibawa ke rumah duka, tetapi langsung dimakamkan untuk menghindari kerumuman para pelayat. Hal tersebut dikhawatirkan bisa membuka risiko penularan bukan dari jenazah ke pelayat. Namun, penularan antar pelayat yang berkumpul dalam jumlah besar.

Kedepan dia berharap tidak akan ada lagi peristiwa penolakan pemakaman jenazah positif COVID-19. Stigmatisasi dan penolakan akan melukai perasaan keluarga yang ditinggalkan. "Meninggal itu takdir Allah yang tidak bisa ditolak, jadi apapun alasannya tidak benar menolak pemakaman jenazah pasien Covid-19," tutur Nanung. (Lin)

(wd)

Berita Terkait

Berita Lainnya