JAKARTA, solotrust.com - Beberapa hari belakangan masyarakat mengeluhkan panasnya suhu siang hari dan suasana cenderung gerah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan suasana terik umumnya disebabkan suhu udara tinggi disertai kelembapan udara rendah, terutama terjadi pada kondisi langit cerah dan kurangnya awan. Pancaran sinar matahari langsung lebih banyak diteruskan ke permukaan bumi.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal, menjelaskan berkurangnya tutupan awan, terutama di wilayah Indonesia bagian Selatan disebabkan wilayah ini tengah berada pada masa transisi dari musim hujan menuju kemarau sebagaimana diprediksikan BMKG sebelumnya, seiring dengan pergerakan semu matahari dari posisi di atas khatulistiwa menuju Belahan Bumi Utara.
"Transisi musim itu ditandai mulai berembusnya angin timuran dari Benua Australia (monsun Australia), terutama di wilayah bagian Selatan Indonesia. Angin monsun Australia ini bersifat kering kurang membawa uap air sehingga menghambat pertumbuhan awan. Kombinasi antara kurangnya tutupan awan serta suhu udara tinggi dan cenderung berkurang kelembapannya inilah yang menyebabkan suasana terik yang dirasakan masyarakat," paparnya dalam siaran pers.
Sesuai prediksi BMKG sebelumnya, Maret hingga April menunjukkan suhu yang terus menghangat, hampir di sebagian besar tempat di Indonesia. Pemantauan BMKG pada April ini, teridentifikasi banyak daerah mengalami suhu maksimum 34°C hingga 36°C, bahkan tertinggi tercatat mencapai 37,3°C pada 10 April 2020 di Karangkates, Malang. Sementara kelembapan udara minimum di bawah 60 persen terpantau terjadi di sebagian Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, sebagian Jawa Timur, dan Riau.
Secara klimatologis, lanjut Herizal, April-Mei-Juni memang tercatat sebagai bulan-bulan di mana suhu maksimum mengalami puncaknya di Jakarta, selain Oktober-Nopember. Pola tersebut mirip dengan pola suhu maksimum di Surabaya. Sementara di Semarang dan Yogyakarta, pola suhu maksimum akan terus naik secara gradual pada April dan mencapai puncaknya pada September-Oktober.
"Meskipun tingginya suhu maksimum hari-hari ini tidak dapat dikatakan dipicu secara langsung oleh perubahan iklim, namun dalam analisis perubahan iklim oleh peneliti BMKG dengan menggunakan data yang panjang sejak 1866, diketahui bahwa tren suhu maksimum di Jakarta telah meningkat signifikan sebesar 2.12°C per seratus tahun. Demikian pula pada lebih dari 80 stasiun BMKG untuk pengamatan suhu udara di Indonesia dalam periode 30 tahun terakhir," ungkap Herizal.
Tren suhu udara terus meningkat ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di banyak tempat di dunia. Masyarakat kerap menyebutnya sebagai fenomena pemanasan global. Pemantauan suhu rata-rata secara global menunjukkan hampir tiap tahun tercatat rekor baru suhu tertinggi dunia. Badan Meteorologi Dunia (WMO) dalam rilisnya 15 Januari 2020 menyatakan pada 2019 adalah tahun terpanas kedua sejak 1850, setelah 2016.
Analisis BMKG menunjukkan hal serupa untuk suhu rata-rata di wilayah Indonesia di mana pada 2019 juga merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016. Suhu rata-rata di 2019 lebih hangat 0.95°C dibandingkan suhu rata-rata klimatologis periode 1901-2000.
()