Solotrust.com - "Psycho", lagu utama Red Velvet dari album mini kedelapannya "The ReVe Festival: Finale" berhasil meraih sejumlah prestasi. Lagu yang rilis pada 23 Desember 2019 itu menjadi lagu dari girlgroup yang meraih ranking tertinggi di chart tahunan MelOn tahun 2020.
Pada 9 Februari 2021, MelOn merilis daftar 10 lagu K-Pop yang paling banyak didengarkan di platformnya sepanjang 2020 dan "Psycho" menempati peringkat kedua secara keseluruhan, tertinggi untuk lagu dari girlgroup.
Dari posisi pertama sampai kesepuluh berturut-turut ditempati oleh BTS dengan "Boy With Luv", Red Velvet dengan "Psycho", BTS dengan "Dynamite", BLACKPINK dengan "How You Like That", Oh My Girl dengan "Nonstop", BTS dengan "ON", Oh My Girl dengan "Dolphin", MAMAMOO dengan "HIP", BTS dengan "Spring Day", dan BTS dengan "Black Swan".
Sehari setelah dirilis, "Psycho" diketahui berhasil menempati peringkat pertama di lima chart lagu utama Korsel yakni MelOn, Bugs, Genie, Soribada, dan FLO.
MelOn sendiri adalah chart musik terbesar di Korea Selatan, dengan lebih dari 28 juta pengguna. Chart ini menghitung pendengar aktual atau unik, bukan streaming. Sehingga agar sebuah lagu bisa masuk di chart akhir tahun, lagu tersebut harus didengarkan bukan hanya oleh para penggemarnya tapi juga masyarakat secara umum.
Berdasarkan keterangan SM Entertainment via siaran persnya, album itu pun berhasil memuncaki chart di 42 negara paska dirilis, seperti di Indonesia, AS, Kanada, Brazil, dan Swedia.
Dengan berhasil memuncaki chart album iTunes di AS, Red Velvet sekaligus menorehkan rekor sebagai girlgroup K-Pop pertama yang mampu meraih no.1 di chart itu dengan 3 album sekaligus dalam setahun.
Masih dari keterangan SM Entertainment, "Pyscho" dideskripsikan sebagai lagu pop urban up-tempo dengan hook yang adiktif. Lagu ini digambarkan sebagai lagu cinta yang keren dan manis, yang menceritakan kisah sepasang kekasih yang mengakui bahwa satu sama lain mirip "Psycho".
Ini terlihat dalam lirik seperti "Kami berada dalam hubungan yang sangat aneh. Kami saling menghancurkan dan saling berpelukan. Kamu membuat saya merasa seperti psiko. Orang-orang terus memberi tahu kami. Saat kami bertengkar, seperti itu adalah yang terakhir. Tetapi kemudian kami rukun kembali. Mereka tidak mengerti. Lucu sekali."
"Psycho" juga mendapat perhatian media internasional. Majalah PAPER dari AS memilih lagu itu sebagai lagu K-Pop terbaik tahun 2020 dari 40 lagu yang masuk dalam daftarnya. PAPER mengulas bagaimana lagu itu menjadi karya terdinamis Red Velvet, dengan lapisan harmoninya, suara synthnya dan falsettonya. Lagu itu juga dipilih Billboard sebagai salah satu lagu K-Pop terbaik 2019.
Lagu yang diproduksi oleh Cazzi Opeia, Kenzie, EJAE, Yoo Young Jin dan Drew Scott ini juga menjadi lagu dari SM Entertainment tercepat yang memperoleh 10 juta kali streaming di Spotify, yakni hanya dalam waktu 6 hari.
Lalu, bagaimana proses terciptanya lagu ini? Media Korea Selatan The Korea Herald pernah merilis wawancara dengan penciptanya seputar lagu ini.
"Pyscho" muncul di kamp penulisan lagu SM di Seoul, saat penulis lagu asal Swedia Cazzi Opeia dimasukkan ke dalam grup bersama Drew Scott asal LA dan EJAE. Suatu hari, mereka minum kopi dan mengobrol tentang kehidupan dan cinta, sebelum percakapan beralih ke perasaan setelah putus cinta.
"Seseorang mengatakan sesuatu seperti patah hati yang hampir merasa seperti psycho. Kami kemudian memutuskan bahwa kami ingin menulis lagu dengan akord indah yang menceritakan kisah tentang ini. Dan begitulah 'Psycho' lahir," kata Opeia.
Opeia juga bekerja dengan Kenzie, seorang penulis lagu terkenal di SM, yang menerjemahkan lirik Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Korea untuk "Psycho", saat Opeia dan EJAE menulis top line, yakni melodi dan lirik di atas instrumental. "Kami merasa di studio saat kami menulisnya, bahwa ini adalah sesuatu yang sangat bagus," tambahnya.
Scott memainkan akord di piano dan melodi datang secara alami untuk Opeia. Dan ketika Opeia menyanyikan melodi opera itu untuk pre-chorus, Scott tahu mereka telah membuat sesuatu yang unik bersama. Lagu ini sendiri dimulai dengan senar pizzicato yang canggih diikuti dengan bait yang diselingi oleh suara yang terdistorsi.
Sebagai produser, Scott memutuskan untuk memanfaatkan keserbagunaan grup itu. Red Velvet sendiri adalah grup yang menggambarkan "Red" yang kuat dan bertenaga dan "Velvet" yang lembut dan elegan. "Red Velvet suka memainkan gaya mereka yang berkelas dan berani, jadi saya ingin memadukan keduanya," kata Scott.
Berasal dari latar belakang musik klasik dan telah menghasilkan lagu-lagu di dunia R&B dan hip-hop, Scott mengatakan wajar baginya untuk membawa elemen-elemen itu ke dalam campuran lagu.
"Distorsi terhadap akord klasik adalah psikotik itu sendiri dan begitu Cazzi meletakkan beberapa ad lib, saya mengambilnya dan menambahkan filter penundaan yang saya buat yang disebut 'Psychodelic'," jelasnya.
Saat ditanya apa yang membuat lagu ini selalu ingin didengarkan, Scott menjawab, "Dalam musik, kami menyebutnya 'bop', lagu dimana ritme membuat kepala Anda terus bergerak atau 'bopping'. Hi-hat dan ketukan drumlah yang menjaga kecepatan lagu."
"Jika Anda mengeluarkannya, lagu itu bisa menjadi ballad yang santai. Sinkop hi-hat dalam chorus di atas melodi trap yang ramah membuat pendengar tetap terlibat, seperti jika 'Fur Elise' Beethoven memiliki 808s dan hard hitting-kicks," lanjutnya. (Lin)
(wd)