Hard News

Fenomena Bahaya Laten Komunisme di Era Sekarang (II)

Nasional

30 September 2021 20:33 WIB

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc

SOLO, solotrust.com - Sejak runtuhnya Uni Soviet lalu runtuhnya Tembok Berlin, maka praktik kedigdayaan komunisme sebagai sebuah ideologi dan sistem politik yang masif menjadi runtuh pula. Memang masih ada Kuba dan Korea Utara yang masih mengusung ideologi ini, namun keduanya kini eksis dengan napas kehidupan yang sangat sempit dan sesak.

Cina menjadi sebuah anomali yang unik sebab Deng Xiaoping mengubah semangat dan penerapan komunisme peninggalan Mao Zedong di sana sehingga kemudian langkah drastis inilah yang menyelamatkan Cina untuk tetap eksis, dan bahkan menjadi negara adidaya saat ini.



Melihat konstelasi politik dunia saat ini pascaberakhirnya Perang Dingin dengan sendirinya menunjukkan penanda bahwa komunisme klasik sebagaimana diajarkan Lenin, Stalin, dan Mao memang sudah berakhir.

Akan tetapi, mengasumsikan bahwa ideologi bisa hancur dan mati juga merupakan sebuah asumsi yang tidak tepat. Ideologi akan terus mengalami proses historis yang membuat eksistensinya bergulir melampaui masa ataupun struktur sosial yang ada selama proses-proses pengetahuan yang berlangsung akan terus menghasilkan subjektivikasi pada aktor-aktor sosial yang meyakininya

Dalam konteks ini agama bisa menjadi contoh baik, bagaimana sesuatu yang diyakini dan dianut secara berkelanjutan, maka eksistensinya akan bisa melampaui fase historisitas tertentu dan periode yang bersifat terbatas.

Ketidakmungkinan untuk menyaksikan komunisme klasik bangkit dan muncul kembali memang sesuatu yang hampir niscaya saat ini. Meski demikian, ideologi memiliki karakteristik untuk terus berevolusi dan bermutasi dalam bentuk ataupun nilai yang baru sesuai fase historis di mana ia eksis.

Karena itu, komunisme, sebagaimana ideologi-ideologi yang lain, akan selalu diuji oleh proses ‘seleksi alam’ untuk menentukan keberlangsungan eksistensinya. Dan, saya meyakini bahwa komunisme, sebagaimana kapitalisme, fasisme, nasionalisme, serta bahkan agama, akan tetap eksis dan terus berevolusi.

Ideologi merupakan sesuatu yang mustahil untuk dibendung. Ia akan terus eksis sebagai fenomena sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang akan terus berkembang sebagai sebuah historisitas dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif sebagai masyarakat ataupun secara individual.

Apalagi, jika kita berbicara secara spesifik dalam konteks ilmu sosial, Karl Marx sebagai pencetus komunisme bersama Friedrich Engels merupakan pemikir paling berpengaruh dalam ilmu sosial. Karena itu, ilmu sosial, khususnya cabang-cabang utamanya, yakni sosiologi, ilmu politik, antropologi akan terus mempelajari pemikiran Marx, sebab basis dari ilmu-ilmu ini memang berdiri di atas landasan pemikiran Marx.

Dengan kata lain, selama masih ada ilmu sosial, seperti sosiologi, ilmu politik, antropologi, dan lainnya, maka selama itu pula pemikiran Marx akan selalu dikaji dan menjadi penting untuk dipelajari.

Meski demikian, mempelajari pandangan Marx ataupun mempelajari ideologi, seperti komunisme, kapitalisme, dan lainnya, tidak berarti kemudian kita akan serta-merta menjadi pengikutnya.

Justru pendidikan di perguruan tinggi dibangun atas landasan kritisisme, ya setidaknya semangatnya demikian mesti seringkali kritisisme itu menjadi kemewahan untuk dimiliki akademisi penguasa ataupun keompok dominan selalu terganggu dengan kritisisme.

Dan atas dasar kritisisme tersebut, maka mahasiswa mempelajari ideologi, baik komunisme ataupun lainnya, dengan semangat untuk mengujinya secara akademis dan mempertanyakan gagasan serta argumentasinya secara kritis.

*Oleh: Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc. Penulis adalah sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS)

(and_)